Rabu, 25 April 2012

Sumber-Sumber Hukum


Sumber hukum materil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum,misalnya:
- Hubungan sosial
-  Hubungan kekuasaan politik
-  Situasi sosial ekonomis
-  Tradisi (pandangan keagamaan,kesusilaan)
-  Hasil penelitian ilmiah (kriminologi,lalulintas)
-  Perkembangan internasional
-  Keadaan geografis
Sedangkan,sumber hukum formal merupakan tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum’misalnya:
-  Undang-undang
Undang-undang di sini identik dengan hukum tertulis sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis.
-  Kebiasaan
Meskipun kebiasaan bukan lagi merupakan sumber hukum yang penting dalam masyarakat modern sekarang ini,namun bagaimanapun kebiasaan masih sering dijadikan sumber hukum di dalam praktek pradilan kita di Indonesia dan sebagai adat yang dipertahankan dalam keputusan yang berkuasa dalam masyarakat .
-  Traktat
Perjanjian internasional atau traktat dikatakan sebagai sumber hukum dalam arti formal karena treaty itu harus memenuhi persyaratan formal tertentu agar dapat diterima sebagai treaty atau perjanjian internasional.
-  Yurisprudensi
Putusan pengadilan atau yurisprudensi di samping sebagai salah satu sumber hukum formal,juga adalah hukum.Putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang bersangkutan.
-  Pendapat pakar hukum yang terkenal (doktrin)
Dokrin adalah pendapat pakar senior yang biasanya merupakan sumber hukum,terutama putusan hakim sering berpedoman pada pandangan pakar tersebut.

Selasa, 24 April 2012

Restorative justice

Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
Konsep restorative jistice berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Disini kita dapat menyimpulkan bahwa pendekatan restorative justice bisa digunakan sebagai suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini.
Dalam proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. Apa sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dalam sebuah pemidanaan? Apakah untuk menciptakan efek jera? Apakah untuk menciptakan keteraturan dan keamanan? Apakah untuk menciptakan tegaknya aturan hukum? Banyak jawaban yang mengatakan bahwa walaupun telah damai, namun unsur perbuatan melawan hukum telah terjadi. Dengan adanya proses peradilan yang berlangsung sampai ke pemidanaan, maka akan memberikan pengetahuan juga pengalaman kepada terdakwa bahwasanya akibat dari melakukan suatu perbuatan pidana itu sungguh tidak enak dengan harapan agar mereka tidak mengulanginya lagi karena akan merugikan orang lain dan itu akan memberikan efek penjera bagi terdakwa. Namun pada kenyataannya, sistem pemidanaan seakan tidak lagi menciptakan efek jera bagi para pelaku tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tindak kriminal yang terjadi di dalam lingkungan rutan dan lapas. Lapas seolah tidak lagi menjadi tempat yang tepat dalam me masyarakat-kan kembali para narapidana tersebut, malah seolah lapas telah bergeser fungsinya sebagai academy of crime, tempat dimana para narapidana lebih mengasah kemampuannya dalam melakukan tindakan pidana.
Bagaimana dengan kepentingan korban? Apakah dengan dipidananya si pelaku, kepentingan dan kerugian korban telah tercapai pemenuhannya? Belum tentu hal itu dapat dipenuhi dengan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku. Dalam berbagai kasus, posisi pelaku dan korban yang telah berdamai seakan tidak digubris sebagai dasar penghentian suatu perkara . Pihak penegak hukum seakan tidak menyadari bahwa tujuan penegakan hukum yang sebenarnya bukanlah untuk menerapkan hukum, melainkan untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang harmonis. Jadi apabila kedua belah pihak telah berdamai, untuk apa lagi suatu perkara dilanjutkan? Konsep seperti inilah yang tidak memberi perlindungan dan penghargaan kepada kepentingan sang korban maupun pelaku. Ini adalah sebuah mekanisme konvensional yang disandarkan pada tegaknya proses formil pidana (criminal justice system) tanpa melihat kenyataan di masyarakat, tanpa melihat kepentingan masyarakat, dan tanpa melihat kemaslahatannya di masyarakat.
Selain itu, proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, hal ini dapat kita lihat dari banyaknya kejadian dimana setelah proses di pengadilan selesai, hubungan antara pelaku dan korban malah semakin tidak membaik. Apakah ini yang menjadi tujuan proses pidana konvensiaonal? Bahkan tidak menutup kemungkinan nanti setelah pelaku bebas, dia akan balas dendam kepada korban. Baik karena tidak puas dengan keputusn pengadilan ataupun karena alasan lain. Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, kemudian tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil. Hal inilah yang seringkali menyebabkan keputusan Jaksa lebih menguntungkan salah satu pihak baik korban atau pelaku dan hal inilah yang biasanya membuat ada pihak yang tidak puas dengan keputusan Pengadilan.
Ketidakpuasan dan rasa frustasi terhadap hukum pidana formal yang tidak efisien telah memicu sejumlah pemikiran untuk melakukan berbagai upaya alternatif dalam menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana yang terjadi. Permasalahan seputar perkembangan sistem peradilan pidana yang ada sekarang menunjukkan bahwa proses acara pidana konvensional yang sifatnya sangat formil dianggap tidak lagi dapat memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia, transparansi terhadap kepentingan umum yang dijaga pun semakin tidak dirasakan. Selain itu, sistem formil tersebut dalam praktiknya sering digunakan sebagai alat represif bagi mereka yang berbalutkan atribut penegak hukum. Disinilah konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya. Mungkin konsep restorative justice akan lebih bermanfaat dan efisien digunakan diIndonesia dibandingkan dengan sistem acara pidana konvensional mengingat sistem pidana konvensional yang tidak efisien lagi.
Banyak negara lain yang sudah mencoba menerapkan paradigm restorative justice dalam penanganan perkara pidana seperti Australia, Canada, Finlandia, Ghana, Bulgaria, Belgia, Inggris, Selandia Baru, dan Afrika Selatan. Penerapan pendekatan restorative justice yang marak akhir-akhir ini karena muncul anggapan paradigma ini membawa banyak keuntungan perubahan yang positif terhadap masyarakat dan negara. Inilah yang sangat dibutuhkan indonesia saat ini.

 Keuntungan yang dapat kita diambil dari penerapan restorative justice di Indonesia adalah :
1.      Bahwa masyarakat telah diberikan ruang untuk menangani sendiri permasalahan hukumnya yang dirasakan lebih adil. Sehingga nantinya rasa kepuasan akan keputusan akhir akan lebih dirasakan oleh kedua belah pihak.
2.      Beban Negara dalam beberapa hal menjadi berkurang misalnya beban untuk mengurusi tindak pidana-tindak pidana yang masih dapat diselesaikan secara mandiri oleh masyarakat. Contohnya kasus Deli, seorang pelajar SMP yang dituduh mencuri voucher sehingga harus menjalani proses formil pidana sampai ke pengadilan. Kemudian kasus nenek Minah yang dituduh mencuri dua biji kakao sehingga harus duduk di kursi pengadilan. Kasus seperti itu seharusnya ditangani oleh masyarakat sendiri melalui musyawarah. Sehingga aparat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dapat lebih memfokuskan diri untuk memberantas tindak pidana-tindak pidana yang kualifikasinya lebih berbahaya seperti narkotika, terorisme, korupsi yang selama ini belum bisa dihilangkan di Indonesia ataupun pelanggaran HAM berat.
Keuntungan inilah yang barangkali bisa kita manfaatkan dan mungkin perlu dipertimbangkan terhadap keberlakuan pendekatan restorative justice dalam hukum acara pidana di Indonesia untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, tatanan masyarakat yang harmonis dan adil dalam penegakan hukum di Indonesia.




Terima Kasih

Rabu, 04 April 2012

Teori Tentang Badan Hukum


1. Teori Fiksi
 Teori ini dipelopori oleh sarjana Jerman Friedrich Carl von Savigny (1779-1861), tokoh utama aliran sejarah pasa permulaan abaf 19. Menurut teori ini bahwa hanya manusia saja yang mempunyai kehendak.
 Selanjutnya dikemukakan bahwa badan hukum adalah suatu abtraksi. Bukuan merupakan suatu hal yang konkrit. Jadi karena hanya suatu abtraksi maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari hubungan hukum, sebab hukum memberi hak-hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa(wilsmacht). Badan hukum semata-mata hanyalah buatan pemerintah atau negara. Terkecuali negara badan hukum itu fiksi yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan untuk menerangkan sesuatu hal.
 Dengan kata lain sebenarnya menurut alam manusia selalu subjek hukum , tetapi orang menciptakan dalam bayanganya, badan hukum selalu subjek hukum diperhitungkan sama dengan manusia. Jadi, orang bersikap seoplah-olah ada subjek hukum yang lain, tetapi wujud yang tidak riil itu tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan, sehingga yang melakukan ialah manusia sebagai wakil-wakilnya.
 2. Teori Orgaan
 Teori ini dikemukakan oleh sarjana Jerman, Otto von Gierke (1841-1921), pengikut aliran sejarah dan di negeri Belanda dianut oleh L.G.Polano. Ajarannya disebut leer der volledige realiteit ajaran realitas sempurna.
 Mebnurut Gierke badan hukum itu seperti manusia, menjadi penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum yaitu ’eine leiblichgeistige Lebensein heit’. Badan hukum itu menjadi suatu ’verbandpersoblich keit’ yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan tersebut misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya dengan perantaraan muklutnya atau dengan perantaraan tanganya jika kehendak itu ditulis di atas kertas. Apa yang mereka (organen) putuskan, adalah kehendak dari badan hukum. Dengan demikian menurut teori orgaan badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak, tetapi benar-benar ada. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak bersubjek, tetapi badan hukum itu suatu organisme yang riil, yang hidup dan bekerja seperti manusia biasa. Tujuan badan hukum menjadi kolektivitas, terlepas dari individu, ia suatu ’Verband personlichkeit yang memiliki Gesamwille’. Berfungsi badan hukum dipersamakan dengan fungsinya manusia. Jadi badan hukum tidak berbeda dengan manusia, dapat disimpulkan bahwa tiap-tiap perkumpulan/perhimpunan orang adalah badan hukum. Ini bukan soal yang irriil, justru riil seperti orang dalam kualitasnya sebagai subjek hukum. Sebab kualitas subjek hukum pada manusia juga tidak dapat ditangkap dengan panca indera, dan bertindaknya tidak dengan kesatuan wujud orang, tetapi orgaan dari orang itu yang bertindak. Begitu pula badan hukum sebagai wujud kesatuan tidak bertindak sendiri melainkan orgaannya (bestuur, komisaris, dan sebagainya). Tidak sebagai wakil, tetapi bertindak sendiri dengan orgaannya. Yang berjual beli dan sebagainya adalah badan hukum, bukan si wakil. 
3. Leer van het ambtelijk vermogen
 Ajaran tentang herta kekayaan yang dimiliki seseorang dalam jabatanya (ambtelijk vermogen): suatu hak yang melekat pada suatu kualitas. Penganut ajaran ini menyatakan bahwa tidah mungkin mempunyai hak jika tidak dapat melakukan hak itu. Dengan lain perkataan, tanpa daya berkehendak (wilsvermogens) tidak ada kedudukan sebagai subjek hukum. Ini konsekuensi yang terluas dari teori yang menitik beratkan pada daya berkehendak. Untuk badan hukum yang berjehendak ilah para pengrusnya maka pada badan hukum semua hak itu diliputi oleh penguru. Dalam kualitasnya sebagai pengurus mereka adalah berhak, maka dari itu disebut ambtelijk vermogen. Konsekuensi ajaran nini ialah bahwa orang belum dewasa dimana wali melakukan segala perbuatan. eigendom ada pada curatele eigenaarnya adalah curator. Teori ini dipelopori oleh Holder dan Binder, sedang di negeri Belanda dianut oleh F.J.Oud. Teori ambtelijk vermogen itu mendekati teori kekayaan bertujuan dari Brinz.
4. Teori kekayaan bersama
 Teori ini dikemukakan oleh Rudolf von Jhering seorang sarjana Jerman pengikut aliran sejarah tetapi keluar. Pe,mbela teori ini adalah marcel Pleniol dan Molengraaff,kemudian diikuti Star Busmann, Kranenburg, Paul Scolten dan Apeldoorn. Teori kekayaan bersama itu menganggap badan hukum sebagai kumpulanmanusia. Kepentingan badan hukum adalah kepentingan seluruh anggotanya. Menurut teori ini badan hukum bukan abstraksi dann bukan organisma. Pada hakikatnya hak dan kewajiban badan hukum adalah tanggung jawab bersama-sama. Harta kekayaan badan itu adalah milik bersama seluruh anggota. Para anggota yang berhimpun adalah suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang disebut badan hukum. Karena itu, badan hukum hanyalah suatu kontruksi yuridis belaka. Pada hakikatnya badan hukum itu sesuatu yang abstrak. Teori ini juga disebut propriete collective theorie (Planiol), gezemenlijke vermogenstheorie (Molengraaff), Gezamenlijke eigendomstheorie, teori kolektif (Utrecht), collectiviteitstheorie dan bestemmingstheorie. 
5. Teori Kekayaan Bertujuan 
Teori ini timbul dari colltiviteitstheorie. Teori kekayaan beretujuan dikemukakan oleh sarjana Jerman, a. Brinz dan dibela oleh Van der Heijden. Menurut Brinz hanya manusia yang dapat menjadi subjek hukum. Karena itu badan hukum bukan subjek hukum dan hak-hak yang diberi kepada suatu badan hukum pada hakikatnya hak-hak dengan tiada subjek hukum. Teori ini mengemukakan bahwa kekayaan badan hukum itu tidak terdiri dari hak-hak sebagaimana lazimnya (ada yang menjadi pendukung ha-hak tersebut, manusia). kekayaan badan hukum dipandang terlepas dari yang memegangnya. Di sini yang penting bukanlah siapa badan hukum itu, tetapi kekayaan tersebut diurus dengan tujuan tertentu. Karena itu menurut teori ini tidak peduli manusia atau bukan,tidak peduli kekayaan itu merupakan ha-hak yang normal atau bukan, yang terpenting adalah tujuan dari kekayaan tersebut.  
Singkatnya, apa yang disebut hak-hak badan hukum, sebenarnya ha-hak tanpa subjek hukum, kerena itu sebagai penggantinya adalah kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan. Teori ini disebut ajaran Zweckvermogen atau teori kekayaan bertujuan.
 6. Teori kenyataan yuridis
 Dari teori orgaan timbulah teori yang merupakan penghalusan dari teori orgaan tersebut ialah teori kenyataan yuridis (Juridische realiteitsleer). teori ini dikemukakan oleh sarjana Belanda E.M. Meijers dan dianut oleh Paul Scolten, serta sudah merupakan de heersende leer. Menurut Meijers badan hukum itu merupakan suatu realitas, konkrit, riilo, walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Meijers menyebut teori tersebut sebagai teori kenyataan sederhana, karena menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia itu terbatas sampai pada bidang hukum saja. Jadi menurut teori kenyataan yuridis badan hukum adalah wujud yang riil, sama riilnya dengan manusia.
 7. Teori dari Leon Duguit
 Menurut Duguit tidak ada person-persoon lainya dari pada manusia-manusia individual. Akan tetapi menusiapun sebagaimana perhimpunan dan yayasan tidak dapat menjadi pendukung dari hak subjektif. Duguit tidak mengakui hak yang oleh badan hukum diberikan dkepada subjek hukum tetapi melihat fungsi-fungsi sosial yang harus dilakukan sebagai subjek hukum dan ia merupakan subjek hukum tanpa mendukung hak. Karena hanya manusia adalah subjek hukum maka bagi Duguit hanya manusia yang menjadi subjek hukum internasional.-
- Dari teori-teori mengenai badan hukum di atas dapat kita menyimpulkan bahwasanya berbagai teori tadi berpusat pada dua bagian yaitu:
 1. Teori yang menganggap badan hukum itu sebagai wujud nyata , artinya dengan panca indera manusia sendiri, akibatnya badan hukum tersebut disamakan atau identik dengan manusia. Badan hukum dianggap identik dengan organ-organ yang mengrus ialah para pengurusnya dan mereka inilah oleh hukum diangap sebagai persoon.
 2. Teori yang menganggap bahwa badan hukum itu tidak sebagai wujud nyata, tetapi badan hukum itu hanya merupakan manusia yang berdiri di belakang badan huykum tersebut akibanya menurut anggapan yang kedua ini jika badan hukum tersebut melakukan kesalahan itu adalah kesalahan manusia-manusia yang berdiri di belakang badan hukum tersebut secara bersama-sama.

Tujuan Hukum


Dari keseluruhan pendapat tentang apa yang merupakan tujuan hukum,penulis mengklasifikasikannya dalam 2 kelompok teori yaitu:
A.  AJARAN KONVENSIONAL
Ketiga ajaran konfensional itu dapat kita namakan ajaran yang ekstrem karena ketiga-tiganya menganggap tujuan hukum hanya semata-mata satu tujuan saja:
1. ajaran etis yang menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan.
2. ajaran utilistis yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan warga.
3. ajaran normatif-dogmatik yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum.
B. AJARAN MODERN
Berbeda dengan ketiga ajaran yang konvensional,ajaran modern lebih moderat dengan menerima ketiga-tiganya yaitu keadilan,kemanfaatan dan kepastian menjadi tujuan hukum tetapi dengan prioritas tertentu.Persoalan prioritas inilah yang kemudian membedakan antara ajaran prioritas baku dan ajaran prioritas kasuistis
1. Ajaran prioritas baku
Gustaf Radbruch mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum,yang oleh sebagian pakar diidentikkan uga sebagai tiga tujuan hukum yaitu:
1. keadilan;
2. kemanfaatan;
3. kepastian hukum.
Jadi asas yang ditawarkan Gustaf Radbruch merupakan asas prioritas baku,di mana yang prioritas nomor satu elalu keadilan,emudian kemanfatan,dan terakhir kepastian.
2. Ajaran prioritas yang kasuistis
Menurut  ajaran prioritas kasuistis,ketiga-tiganya yaitu keadilan,kemanfaatan,dan kepastian hukum itu benar tapi tidak ada yang diutamakan.Sebab adakalanya  unuk suatu kasus memang yang tepat adalah “keadilan” yang diprioritaskan ketimbang “kemanfaatan” dan “kepastian”,tetapi ada kalanya tidak mesti demikian.Akhirnya muncullah ajaran yang paling maju yang dikenal dengan “prioritas yang kasuistis”.

Sumbe-Sumber Hukum


Sumber hukum materil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum,misalnya:
1.       Hubungan sosial
2.       Hubungan kekuasaan politik
3.       Situasi sosial ekonomis
4.       Tradisi (pandangan keagamaan,kesusilaan)
5.       Hasil penelitian ilmiah (kriminologi,lalulintas)
6.       Perkembangan internasional
7.       Keadaan geografis
Sedangkan,sumber hukum formal merupakan tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum’misalnya:
1.       Undang-undang
Undang-undang di sini identik dengan hukum tertulis sebagai lawan dari hukum yang tidak tertulis.
2.       Kebiasaan
Meskipun kebiasaan bukan lagi merupakan sumber hukum yang penting dalam masyarakat modern sekarang ini,namun bagaimanapun kebiasaan masih sering dijadikan sumber hukum di dalam praktek pradilan kita di Indonesia dan sebagai adat yang dipertahankan dalam keputusan yang berkuasa dalam masyarakat .
3.       Traktat
Perjanjian internasional atau traktat dikatakan sebagai sumber hukum dalam arti formal karena treaty itu harus memenuhi persyaratan formal tertentu agar dapat diterima sebagai treaty atau perjanjian internasional.
4.       Yurisprudensi
Putusan pengadilan atau yurisprudensi di samping sebagai salah satu sumber hukum formal,juga adalah hukum.Putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang bersangkutan.
5.       Pendapat pakar hukum yang terkenal (doktrin)
Dokrin adalah pendapat pakar senior yang biasanya merupakan sumber hukum,terutama putusan hakim sering berpedoman pada pandangan pakar tersebut.

Senin, 02 April 2012

Kajian Terhadap Waris dalam Islam


Pertama:
Firman Allah yang artinya "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan," menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
1.    Apabila pewaris (orang yang meninggal) 8hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk keduanya. Anak laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian.
2.    Apabila ahli waris berjumlah banyak, terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka bagian untuk laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan.
3.    Apabila bersama anak (sebagai ahli waris) ada juga ashhabul furudh, seperti suami atau istri, ayah atau ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah ashhabul furudh. Setelah itu barulah sisa harta peninggalan yang ada dibagikan kepada anak. Bagi anak laki-laki dua bagian, sedangkan bagi anak perempuan satu bagian.
4.    Apabila pewaris hanya meninggalkan satu anak laki-laki, maka anak tersebut mewarisi seluruh harta peninggalan. Meskipun ayat yang ada tidak secara sharih (tegas) menyatakan demikian, namun pemahaman seperti ini dapat diketahui dari kedua ayat yang ada. Bunyi penggalan ayat yang dikutip sebelumnya (Butir 1) rnenunjukkan bahwa bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat (artinya) "jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta". Dari kedua penggalan ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa bila ahli waris hanya terdiri dari seorang anak laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh harta peninggalan pewaris.
5.    Adapun bagian keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris), jumlah bagian mereka sama seperti anak, apabila sang anak tidak ada (misalnya meninggal terlebih dahulu). Sebab penggalan ayat (artinya) "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu", mencakup keturunan anak kandung. Inilah ketetapan yang telah menjadi ijma'.
Kedua:
Hukum bagian kedua orang tua. Firman Allah (artinya): "Dan untuk dua orang ibu-hapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam." Penggalan ayat ini menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
1.    Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam bagian apabila yang meninggal mempunyai keturunan.
2.    Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat bagian sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua per tiga menjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi ayat yang hanya menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah tidak disebutkan. Jadi, pengertiannya, sisanya merupakan bagian ayah.
3.    Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai saudara (dua orang atau lebih), maka ibunya mendapat seperenam bagian. Sedangkan ayah mendapatkan lima per enamnya. Adapun saudara-saudara itu tidaklah mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan hukum waris dalam Islam dinyatakan sebagai hajib (penghalang). Jika misalnya muncul pertanyaan apa hikmah dari penghalangan saudara pewaris terhadap ibu mereka --artinya bila tanpa adanya saudara (dua orang atau lebih) ibu mendapat sepertiga bagian, sedangkan jika ada saudara kandung pewaris ibu hanya mendapatkan seperenam bagian? Jawabannya, hikmah adanya hajib tersebut dikarenakan ayahlah yang menjadi wali dalam pernikahan mereka, dan wajib memberi nafkah mereka. Sedangkan ibu tidaklah demikian. Jadi, kebutuhannya terhadap harta lebih besar dan lebih banyak dibandingkan ibu, yang memang tidak memiliki kewajiban untuk membiayai kehidupan mereka.
Ketiga:
Utang orang yang meninggal lebih didahulukan daripada wasiat. Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya." Secara zhahir wasiat harus didahulukan ketimbang membayar utang orang yang meninggal. Namun, secara hakiki, utanglah yang mesti terlebih dahulu ditunaikan. Jadi, utang-utang pewaris terlebih dahulu ditunaikan, kemudian barulah melaksanakan wasiat bila memang ia berwasiat sebelum meninggal. Inilah yang diamalkan Rasulullah saw..
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: "Sesungguhnya kalian telah membaca firman Allah [tulisan Arab] dan Rasulullah telah menetapkan dengan menunaikan utang-utang orang yang meninggal, lalu barulah melaksanakan wasiatnya."
Hikmah mendahulukan pembayaran utang dibandingkan melaksanakan wasiat adalah karena utang merupakan keharusan yang tetap ada pada pundak orang yang utang, baik ketika ia masih hidup ataupun sesudah mati. Selain itu, utang tersebut akan tetap dituntut oleh orang yang mempiutanginya, sehingga bila yang berutang meninggal, yang mempiutangi akan menuntut para ahli warisnya.
Sedangkan wasiat hanyalah suatu amalan sunnah yang dianjurkan, kalaupun tidak ditunaikan tidak akan ada orang yang menuntutnya. Di sisi lain, agar manusia tidak melecehkan wasiat dan jiwa manusia tidak menjadi kikir (khususnya para ahli waris), maka Allah SWT mendahulukan penyebutannya.
Keempat:
Firman Allah (artinya) "orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu." Penggalan ayat ini dengan tegas memberi isyarat bahwa Allah yang berkompeten dan paling berhak untuk mengatur pembagian harta warisan. Hal ini tidak diserahkan kepada manusia, siapa pun orangnya, cara ataupun aturan pembagiannya, karena bagaimanapun bentuk usaha manusia untuk mewujudkan keadilan tidaklah akan mampu melaksanakannya secara sempurna. Bahkan tidak akan dapat merealisasikan pembagian yang adil seperti yang telah ditetapkan dalam ayat-ayat Allah.
Manusia tidak akan tahu manakah di antara orang tua dan anak yang lebih dekat atau lebih besar kemanfaatannya terhadap seseorang, tetapi Allah, Maha Suci Dzat-Nya, Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pembagian yang ditentukan-Nya pasti adil. Bila demikian, siapakah yang dapat membuat aturan dan undang-undang yang lebih baik, lebih adil, dan lebih relevan bagi umat manusia dan kemanusiaan selain Allah?
Kelima:
Firman Allah (artinya) "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu." Penggalan ayat tersebut menjelaskan tentang hukum waris bagi suami dan istri. Bagi suami atau istri masing-masing mempunyai dua cara pembagian.
Bagian suami:
1.    Apabila seorang istri meninggal dan tidak mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat bagian separo dari harta yang ditinggalkan istrinya.
2.    Apabila seorang istri meninggal dan ia mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan.
Bagian istri:
1.    Apabila seorang suami meninggal dan dia tidak mempunyai anak (keturunan), maka bagian istri adalah seperempat.
2.    Seorang suami meninggal dan dia mempunyai anak (keturunan), maka istri mendapat bagian seperdelapan.
Keenam:
Hukum yang berkenaan dengan hak waris saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu. Firman-Nya (artinya): "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). "
Yang dimaksud ikhwah (saudara) dalam penggalan ayat ini (an-Nisa': 12) adalah saudara laki-laki atau saudara perempuan "seibu lain ayah". Jadi, tidak mencakup saudara kandung dan tidak pula saudara laki-laki atau saudara perempuan "seayah lain ibu". Pengertian inilah yang disepakati oleh ulama.
Adapun yang dijadikan dalil oleh ulama ialah bahwa Allah SWT telah menjelaskan --dalam firman-Nya-- tentang hak waris saudara dari pewaris sebanyak dua kali. Yang pertama dalam ayat ini, dan yang kedua pada akhir surat an-Nisa'. Dalam ayat yang disebut terakhir ini, bagi satu saudara mendapat seperenam bagian, sedangkan bila jumlah saudaranya banyak maka mendapatkan sepertiga dari harta peninggalan dan dibagi secara rata.
Sementara itu, ayat akhir surat an-Nisa' menjelaskan bahwa saudara perempuan, jika sendirian, mendapat separo harta peninggalan, sedangkan bila dua atau lebih ia mendapat bagian dua per tiga. Oleh karenanya, pengertian istilah ikhwah dalam ayat ini harus dibedakan dengan pengertian ikhwah yang terdapat dalam ayat akhir surat an-Nisa' untuk meniadakan pertentangan antara dua ayat.
Sementara itu, karena saudara kandung atau saudara seayah kedudukannya lebih dekat --dalam urutan nasab-- dibandingkan saudara seibu, maka Allah menetapkan bagian keduanya lebih besar dibandingkan saudara seibu. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pengertian kata ikhwah dalam ayat tersebut (an-Nisa': 12) adalah 'saudara seibu', sedangkan untuk kata yang sama di dalam akhir surat an-Nisa' memiliki pengertian 'saudara kandung' atau 'saudara seayah'.



Rincian Beberapa Keadaan Bagian Saudara Seibu
A.   Apabila seseorang meninggal dan mempunyai satu orang saudara laki-laki seibu atau satu orang saudara perempuan seibu, maka bagian yang diperolehnya adalah seperenam.
B.   Jika yang meninggal mempunyai saudara seibu dua orang atau lebih, mereka mendapatkan dua per tiga bagian dan dibagi secara rata. Sebab yang zhahir dari firman-Nya [tulisan Arab] menunjukkan adanya keharusan untuk dibagi dengan rata sama besar-kecilnya. Jadi, saudara laki-laki mendapat bagian yang sama dengan bagian saudara perempuan.
Makna Kalaalah
Pengertian kalaalah ialah seseorang meninggal tanpa memiliki ayah ataupun keturunan; atau dengan kata lain dia tidak mempunyai pokok dan cabang. Kata kalaalah diambil dari kata al-kalla yang bermakna 'lemah'. Kata ini misalnya digunakan dalam kalimat kalla ar-rajulu, yang artinya 'apabila orang itu lemah dan hilang kekuatannya'.
Ulama sepakat (ijma') bahwa kalaalah ialah seseorang yang mati namun tidak mempunyai ayah dan tidak memiliki keturunan. Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., ia berkata: "Saya mempunyai pendapat mengenai kalaalah. Apabila pendapat saya ini benar maka hanyalah dari Allah semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Adapun bila pendapat ini salah, maka karena dariku dan dari setan, dan Allah terbebas dari kekeliruan tersebut. Menurut saya, Kalaalah adalah orang yang meninggal yang tidak mempunyai ayah dan anak. "
Ketujuh:
Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sudah dibayar utangnya dengan tidak membebani mudarat (kepada ahli waris)". Ayat tersebut menunjukkan dengan tegas bahwa apabila wasiat dan utang nyata-nyata mengandung kemudaratan, maka wajib untuk tidak dilaksanakan. Dampak negatif mengenai wasiat yang dimaksudkan di sini, misalnya, seseorang yang berwasiat untuk menyedekahkan hartanya lebih dari sepertiga.
Rincian Keadaan Bagian Saudara Kandung atau Saudara Seayah :
A.   Apabila seseorang meninggal dan hanya mempunyai satu orang saudara kandung perempuan ataupun seayah, maka ahli waris mendapat separo harta peninggalan, bila ternyata pewaris (yang meninggal) tidak mempunyai ayah atau anak.
B.   Apabila pewaris mempunyai dua orang saudara kandung perempuan atau seayah ke atas, dan tidak mempunyai ayah atau anak, maka bagian ahli waris adalah dua per tiga dibagi secara rata.
C.   Apabila pewaris mempunyai banyak saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan atau seayah, maka bagi ahli waris yang laki-laki mendapatkan dua kali bagian saudara perempuan.
D.        Apabila seorang saudara kandung perempuan meninggal, dan ia tidak mempunyai ayah atau anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian saudara kandung laki-lakinya. Apabila saudara kandungnya banyak --lebih dari satu-- maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala