Pertama:
Firman Allah yang artinya "bagian seorang anak lelaki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan," menunjukkan hukum-hukum
sebagai berikut:
1.
Apabila pewaris (orang yang
meninggal) 8hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan,
maka harta peninggalannya dibagi untuk keduanya. Anak laki-laki mendapat dua
bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian.
2.
Apabila ahli waris berjumlah
banyak, terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka bagian untuk
laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan.
3.
Apabila bersama anak (sebagai
ahli waris) ada juga ashhabul furudh, seperti suami atau istri, ayah atau ibu,
maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah ashhabul furudh. Setelah itu
barulah sisa harta peninggalan yang ada dibagikan kepada anak. Bagi anak
laki-laki dua bagian, sedangkan bagi anak perempuan satu bagian.
4.
Apabila pewaris hanya
meninggalkan satu anak laki-laki, maka anak tersebut mewarisi seluruh harta
peninggalan. Meskipun ayat yang ada tidak secara sharih (tegas) menyatakan
demikian, namun pemahaman seperti ini dapat diketahui dari kedua ayat yang ada.
Bunyi penggalan ayat yang dikutip sebelumnya (Butir 1) rnenunjukkan bahwa
bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak perempuan. Kemudian
dilanjutkan dengan kalimat (artinya) "jika anak perempuan itu seorang
saja, maka ia memperoleh separo harta". Dari kedua penggalan ayat itu
dapat ditarik kesimpulan bahwa bila ahli waris hanya terdiri dari seorang anak
laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh harta peninggalan pewaris.
5.
Adapun bagian keturunan dari anak
laki-laki (cucu pewaris), jumlah bagian mereka sama seperti anak, apabila sang
anak tidak ada (misalnya meninggal terlebih dahulu). Sebab penggalan ayat
(artinya) "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu", mencakup keturunan anak kandung. Inilah ketetapan yang telah
menjadi ijma'.
Kedua:
Hukum bagian kedua orang tua. Firman Allah (artinya):
"Dan untuk dua orang ibu-hapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam." Penggalan ayat ini menunjukkan
hukum-hukum sebagai berikut:
1.
Ayah dan ibu masing-masing
mendapatkan seperenam bagian apabila yang meninggal mempunyai keturunan.
2.
Apabila pewaris tidak mempunyai
keturunan, maka ibunya mendapat bagian sepertiga dari harta yang ditinggalkan.
Sedangkan sisanya, yakni dua per tiga menjadi bagian ayah. Hal ini dapat
dipahami dari redaksi ayat yang hanya menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga,
sedangkan bagian ayah tidak disebutkan. Jadi, pengertiannya, sisanya merupakan
bagian ayah.
3.
Jika selain kedua orang tua,
pewaris mempunyai saudara (dua orang atau lebih), maka ibunya mendapat
seperenam bagian. Sedangkan ayah mendapatkan lima per enamnya. Adapun
saudara-saudara itu tidaklah mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya
bapak, yang dalam aturan hukum waris dalam Islam dinyatakan sebagai hajib (penghalang).
Jika misalnya muncul pertanyaan apa hikmah dari penghalangan saudara pewaris
terhadap ibu mereka --artinya bila tanpa adanya saudara (dua orang atau lebih)
ibu mendapat sepertiga bagian, sedangkan jika ada saudara kandung pewaris ibu
hanya mendapatkan seperenam bagian? Jawabannya, hikmah adanya hajib tersebut
dikarenakan ayahlah yang menjadi wali dalam pernikahan mereka, dan wajib
memberi nafkah mereka. Sedangkan ibu tidaklah demikian. Jadi, kebutuhannya
terhadap harta lebih besar dan lebih banyak dibandingkan ibu, yang memang tidak
memiliki kewajiban untuk membiayai kehidupan mereka.
Ketiga:
Utang orang yang meninggal lebih didahulukan daripada
wasiat. Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar utangnya." Secara zhahir wasiat harus didahulukan
ketimbang membayar utang orang yang meninggal. Namun, secara hakiki, utanglah
yang mesti terlebih dahulu ditunaikan. Jadi, utang-utang pewaris terlebih
dahulu ditunaikan, kemudian barulah melaksanakan wasiat bila memang ia
berwasiat sebelum meninggal. Inilah yang diamalkan Rasulullah saw..
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: "Sesungguhnya
kalian telah membaca firman Allah [tulisan Arab] dan Rasulullah telah
menetapkan dengan menunaikan utang-utang orang yang meninggal, lalu barulah
melaksanakan wasiatnya."
Hikmah mendahulukan pembayaran utang dibandingkan
melaksanakan wasiat adalah karena utang merupakan keharusan yang tetap ada pada
pundak orang yang utang, baik ketika ia masih hidup ataupun sesudah mati.
Selain itu, utang tersebut akan tetap dituntut oleh orang yang mempiutanginya,
sehingga bila yang berutang meninggal, yang mempiutangi akan menuntut para ahli
warisnya.
Sedangkan wasiat hanyalah suatu amalan sunnah yang
dianjurkan, kalaupun tidak ditunaikan tidak akan ada orang yang menuntutnya. Di
sisi lain, agar manusia tidak melecehkan wasiat dan jiwa manusia tidak menjadi
kikir (khususnya para ahli waris), maka Allah SWT mendahulukan penyebutannya.
Keempat:
Firman Allah (artinya) "orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu." Penggalan ayat ini dengan tegas memberi isyarat bahwa
Allah yang berkompeten dan paling berhak untuk mengatur pembagian harta
warisan. Hal ini tidak diserahkan kepada manusia, siapa pun orangnya, cara
ataupun aturan pembagiannya, karena bagaimanapun bentuk usaha manusia untuk
mewujudkan keadilan tidaklah akan mampu melaksanakannya secara sempurna. Bahkan
tidak akan dapat merealisasikan pembagian yang adil seperti yang telah
ditetapkan dalam ayat-ayat Allah.
Manusia tidak akan tahu manakah di antara orang tua dan anak
yang lebih dekat atau lebih besar kemanfaatannya terhadap seseorang, tetapi
Allah, Maha Suci Dzat-Nya, Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pembagian yang
ditentukan-Nya pasti adil. Bila demikian, siapakah yang dapat membuat aturan
dan undang-undang yang lebih baik, lebih adil, dan lebih relevan bagi umat
manusia dan kemanusiaan selain Allah?
Kelima:
Firman Allah (artinya) "Dan bagimu (suami-suami)
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
utang-utangmu." Penggalan ayat tersebut menjelaskan tentang hukum waris
bagi suami dan istri. Bagi suami atau istri masing-masing mempunyai dua cara
pembagian.
Bagian suami:
1.
Apabila seorang istri meninggal
dan tidak mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat bagian separo dari
harta yang ditinggalkan istrinya.
2.
Apabila seorang istri meninggal
dan ia mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat bagian seperempat dari
harta yang ditinggalkan.
Bagian istri:
1.
Apabila seorang suami meninggal
dan dia tidak mempunyai anak (keturunan), maka bagian istri adalah seperempat.
2.
Seorang suami meninggal dan dia
mempunyai anak (keturunan), maka istri mendapat bagian seperdelapan.
Keenam:
Hukum yang berkenaan dengan hak waris saudara laki-laki atau
saudara perempuan seibu. Firman-Nya (artinya): "Jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi
mudarat (kepada ahli waris). "
Yang dimaksud ikhwah (saudara) dalam penggalan ayat ini
(an-Nisa': 12) adalah saudara laki-laki atau saudara perempuan "seibu lain
ayah". Jadi, tidak mencakup saudara kandung dan tidak pula saudara
laki-laki atau saudara perempuan "seayah lain ibu". Pengertian inilah
yang disepakati oleh ulama.
Adapun yang dijadikan dalil oleh ulama ialah bahwa Allah SWT
telah menjelaskan --dalam firman-Nya-- tentang hak waris saudara dari pewaris
sebanyak dua kali. Yang pertama dalam ayat ini, dan yang kedua pada akhir surat
an-Nisa'. Dalam ayat yang disebut terakhir ini, bagi satu saudara mendapat
seperenam bagian, sedangkan bila jumlah saudaranya banyak maka mendapatkan
sepertiga dari harta peninggalan dan dibagi secara rata.
Sementara itu, ayat akhir surat an-Nisa' menjelaskan bahwa
saudara perempuan, jika sendirian, mendapat separo harta peninggalan, sedangkan
bila dua atau lebih ia mendapat bagian dua per tiga. Oleh karenanya, pengertian
istilah ikhwah dalam ayat ini harus dibedakan dengan pengertian ikhwah yang
terdapat dalam ayat akhir surat an-Nisa' untuk meniadakan pertentangan antara
dua ayat.
Sementara itu, karena saudara kandung atau saudara seayah
kedudukannya lebih dekat --dalam urutan nasab-- dibandingkan saudara seibu,
maka Allah menetapkan bagian keduanya lebih besar dibandingkan saudara seibu.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pengertian kata ikhwah dalam ayat
tersebut (an-Nisa': 12) adalah 'saudara seibu', sedangkan untuk kata yang sama
di dalam akhir surat an-Nisa' memiliki pengertian 'saudara kandung' atau
'saudara seayah'.
Rincian Beberapa Keadaan Bagian Saudara Seibu
A.
Apabila seseorang meninggal dan
mempunyai satu orang saudara laki-laki seibu atau satu orang saudara perempuan
seibu, maka bagian yang diperolehnya adalah seperenam.
B.
Jika yang meninggal mempunyai
saudara seibu dua orang atau lebih, mereka mendapatkan dua per tiga bagian dan
dibagi secara rata. Sebab yang zhahir dari firman-Nya [tulisan Arab]
menunjukkan adanya keharusan untuk dibagi dengan rata sama besar-kecilnya.
Jadi, saudara laki-laki mendapat bagian yang sama dengan bagian saudara
perempuan.
Makna Kalaalah
Pengertian kalaalah ialah seseorang meninggal tanpa memiliki
ayah ataupun keturunan; atau dengan kata lain dia tidak mempunyai pokok dan
cabang. Kata kalaalah diambil dari kata al-kalla yang bermakna 'lemah'. Kata
ini misalnya digunakan dalam kalimat kalla ar-rajulu, yang artinya 'apabila
orang itu lemah dan hilang kekuatannya'.
Ulama sepakat (ijma') bahwa kalaalah ialah seseorang yang
mati namun tidak mempunyai ayah dan tidak memiliki keturunan. Diriwayatkan dari
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., ia berkata: "Saya mempunyai pendapat mengenai
kalaalah. Apabila pendapat saya ini benar maka hanyalah dari Allah semata dan
tidak ada sekutu bagi-Nya. Adapun bila pendapat ini salah, maka karena dariku
dan dari setan, dan Allah terbebas dari kekeliruan tersebut. Menurut saya,
Kalaalah adalah orang yang meninggal yang tidak mempunyai ayah dan anak. "
Ketujuh:
Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang
dibuat olehnya atau sudah dibayar utangnya dengan tidak membebani mudarat
(kepada ahli waris)". Ayat tersebut menunjukkan dengan tegas bahwa apabila
wasiat dan utang nyata-nyata mengandung kemudaratan, maka wajib untuk tidak
dilaksanakan. Dampak negatif mengenai wasiat yang dimaksudkan di sini,
misalnya, seseorang yang berwasiat untuk menyedekahkan hartanya lebih dari
sepertiga.
Rincian Keadaan Bagian Saudara Kandung atau Saudara
Seayah :
A.
Apabila seseorang meninggal dan
hanya mempunyai satu orang saudara kandung perempuan ataupun seayah, maka ahli
waris mendapat separo harta peninggalan, bila ternyata pewaris (yang meninggal)
tidak mempunyai ayah atau anak.
B.
Apabila pewaris mempunyai dua orang
saudara kandung perempuan atau seayah ke atas, dan tidak mempunyai ayah atau
anak, maka bagian ahli waris adalah dua per tiga dibagi secara rata.
C.
Apabila pewaris mempunyai banyak
saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan atau seayah, maka bagi
ahli waris yang laki-laki mendapatkan dua kali bagian saudara perempuan.
D.
Apabila seorang saudara kandung
perempuan meninggal, dan ia tidak mempunyai ayah atau anak, maka seluruh harta
peninggalannya menjadi bagian saudara kandung laki-lakinya. Apabila saudara
kandungnya banyak --lebih dari satu-- maka dibagi secara rata sesuai jumlah
kepala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar