Restorative justice
Konsep
pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih
menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku
tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan
pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi
untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil
dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
Konsep
restorative jistice berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan
pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi
langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara
pidana. Disini kita dapat menyimpulkan bahwa pendekatan restorative justice bisa
digunakan sebagai suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari
strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas
bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini.
Dalam
proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian
antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal
tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus
meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada
pemidanaan sang pelaku pidana. Apa sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dalam sebuah
pemidanaan? Apakah untuk menciptakan efek jera? Apakah untuk menciptakan
keteraturan dan keamanan? Apakah untuk menciptakan tegaknya aturan hukum?
Banyak jawaban yang mengatakan bahwa walaupun telah damai, namun unsur perbuatan
melawan hukum telah terjadi. Dengan adanya proses peradilan yang berlangsung
sampai ke pemidanaan, maka akan memberikan pengetahuan juga pengalaman kepada
terdakwa bahwasanya akibat dari melakukan suatu perbuatan pidana itu sungguh
tidak enak dengan harapan agar mereka tidak mengulanginya lagi karena akan
merugikan orang lain dan itu akan memberikan efek penjera bagi terdakwa. Namun
pada kenyataannya, sistem pemidanaan seakan tidak lagi menciptakan efek jera
bagi para pelaku tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tindak
kriminal yang terjadi di dalam lingkungan rutan dan lapas. Lapas seolah tidak
lagi menjadi tempat yang tepat dalam me masyarakat-kan kembali para narapidana
tersebut, malah seolah lapas telah bergeser fungsinya sebagai academy of crime,
tempat dimana para narapidana lebih mengasah kemampuannya dalam melakukan
tindakan pidana.
Bagaimana
dengan kepentingan korban? Apakah dengan dipidananya si pelaku, kepentingan dan
kerugian korban telah tercapai pemenuhannya? Belum tentu hal itu dapat dipenuhi
dengan cara penjatuhan pidana terhadap pelaku. Dalam berbagai kasus, posisi pelaku
dan korban yang telah berdamai seakan tidak digubris sebagai dasar penghentian
suatu perkara . Pihak penegak hukum seakan tidak menyadari bahwa tujuan
penegakan hukum yang sebenarnya bukanlah untuk menerapkan hukum, melainkan
untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat
yang harmonis. Jadi apabila kedua belah pihak telah berdamai, untuk apa lagi
suatu perkara dilanjutkan? Konsep seperti inilah yang tidak memberi
perlindungan dan penghargaan kepada kepentingan sang korban maupun pelaku. Ini
adalah sebuah mekanisme konvensional yang disandarkan pada tegaknya proses
formil pidana (criminal justice system) tanpa melihat kenyataan di masyarakat,
tanpa melihat kepentingan masyarakat, dan tanpa melihat kemaslahatannya di
masyarakat.
Selain
itu, proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan
kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun
memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, hal ini dapat kita lihat dari
banyaknya kejadian dimana setelah proses di pengadilan selesai, hubungan antara
pelaku dan korban malah semakin tidak membaik. Apakah ini yang menjadi tujuan
proses pidana konvensiaonal? Bahkan tidak menutup kemungkinan nanti setelah pelaku
bebas, dia akan balas dendam kepada korban. Baik karena tidak puas dengan
keputusn pengadilan ataupun karena alasan lain. Proses pidana konvensional
hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang
tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, kemudian tugas penuntutan tetap
diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk
selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan
mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil. Hal inilah yang seringkali
menyebabkan keputusan Jaksa lebih menguntungkan salah satu pihak baik korban
atau pelaku dan hal inilah yang biasanya membuat ada pihak yang tidak puas
dengan keputusan Pengadilan.
Ketidakpuasan
dan rasa frustasi terhadap hukum pidana formal yang tidak efisien telah memicu
sejumlah pemikiran untuk melakukan berbagai upaya alternatif dalam menjawab
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana yang terjadi.
Permasalahan seputar perkembangan sistem peradilan pidana yang ada sekarang
menunjukkan bahwa proses acara pidana konvensional yang sifatnya sangat formil
dianggap tidak lagi dapat memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia,
transparansi terhadap kepentingan umum yang dijaga pun semakin tidak dirasakan.
Selain itu, sistem formil
tersebut dalam praktiknya sering digunakan sebagai alat represif bagi mereka
yang berbalutkan atribut penegak hukum. Disinilah konsep restorative justice
menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung
dalam penyelesaian masalahnya. Mungkin konsep restorative justice akan lebih bermanfaat
dan efisien digunakan diIndonesia dibandingkan dengan sistem acara pidana
konvensional mengingat sistem pidana konvensional yang tidak efisien lagi.
Banyak negara lain yang sudah mencoba
menerapkan paradigm restorative justice dalam penanganan perkara pidana seperti
Australia, Canada, Finlandia, Ghana, Bulgaria, Belgia,
Inggris, Selandia Baru, dan Afrika Selatan. Penerapan pendekatan restorative justice yang marak
akhir-akhir ini karena muncul anggapan paradigma ini membawa banyak keuntungan
perubahan yang positif terhadap masyarakat dan negara. Inilah yang sangat
dibutuhkan indonesia saat ini.
Keuntungan
yang dapat kita diambil dari penerapan restorative justice di Indonesia adalah
:
1. Bahwa masyarakat telah diberikan ruang untuk menangani
sendiri permasalahan hukumnya yang dirasakan lebih adil. Sehingga nantinya rasa
kepuasan akan keputusan akhir akan lebih dirasakan oleh kedua belah pihak.
2. Beban Negara dalam beberapa hal menjadi berkurang
misalnya beban untuk mengurusi tindak pidana-tindak pidana yang masih dapat diselesaikan
secara mandiri oleh masyarakat. Contohnya
kasus Deli, seorang pelajar SMP yang dituduh mencuri voucher sehingga harus
menjalani proses formil pidana sampai ke pengadilan. Kemudian kasus nenek Minah
yang dituduh mencuri dua biji kakao sehingga harus duduk di kursi pengadilan.
Kasus seperti itu seharusnya ditangani oleh masyarakat sendiri melalui
musyawarah. Sehingga aparat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dapat lebih
memfokuskan diri untuk memberantas tindak pidana-tindak pidana yang
kualifikasinya lebih berbahaya seperti narkotika, terorisme, korupsi yang
selama ini belum bisa dihilangkan di Indonesia ataupun pelanggaran HAM berat.
Keuntungan inilah yang barangkali bisa kita manfaatkan
dan mungkin perlu dipertimbangkan terhadap keberlakuan pendekatan restorative
justice dalam hukum acara pidana di Indonesia untuk mencapai ketertiban,
kedamaian, ketentraman, tatanan masyarakat yang harmonis dan adil dalam
penegakan hukum di Indonesia.
Terima Kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar