- Hukum Adat Dalam Perkembangan
Hukum adat karena sifatnya yang
tidak tertulis, majemuk antara lingkungan masyarakat satu dengan lainnya, maka
perlu dikaji perkembangannya. Pemahaman ini akan diketahui apakah hukum adat
masih hidup , apakah sudah berubah, dan ke arah mana perubahan itu.
- Hukum Adat Dalam Perkembangan: Paradigma Sentralisme Hukum dan Paradigma Pluralisme Hukum.
Ada banyak
istilah yang dipakai untuk menamai hukum lokal: hukum tradisional, hukum adat,
hukum asli, hukum rakyat, dan khusus di Indonesia – hukum “adat“ Bagaimana
tempat dan bagaimana perkembangannya hukum adat dalam masyarakat tergantung
kesadaran, paradigma hukum, politik hukum dan pemahaman para pengembannya-
politisi, hakim, pengacara, birokrat dan masyarakat itu sendiri. Hukum ada dan berlakunya tergantung kepada dan berada dalam masyarakat.
Bagi penganut
Paham Etatis, yang mengklaim negara sebagai satu-satunya secara sentral sebagai
sumber produksi hukum, maka di luar negara tidak diakui adanya hukum. Paham
Etatisme berujud sentralisme hukum, dipengaruhi positivisme hukum dan teori
hukum murni, maka secara struktural dan sistimatik ujud hukum adalah bersumber
dan produksi dari negara secara terpusat termasuk organ negara di bawahnya.
Paham sentralisme hukum ini menempatkan posisi hukum adat tidak memperoleh
tempat yang memadahi. Etatis hukum timbul yang
didasarkan pada teori modernitas yang memisahkan dan menarik garis tegas antara
zaman modern dan zaman pra modern. Zaman modern ditandai adanya sistem hukum
nasional, sejak timbulnya senara nasional, sebagai kesatuan yang berlaku dalam seluruh teritorialnya. Paham
ini timbul dari warisan revolusi kaum borjuis dan hegemoni liberal- karena
kuatnya liberalisme, sehingga tumbuh apa yang disebut sentralisme hukum (legal
centralism), dimaknai hukum sebagai hukum negara yang berlaku seragam untuk
semua pribadi yang berada di wilayah jurisdiksi negara tersebut. Menurut Max
Weber dikutip David Trubrek dan Satipto Rahardjo, pertumbuhan sistem hukum
modern tidak dapat dilepaskan dari kemunculan industrialisasi yang
kapitalis.yang memberikan rasionalitas dan prediktabilitas dalam kehidupan
ekonomi. Hukum modern yang dipakai di mana-mana di dunia sekarang ini pada
intinya mengabdi dan melayani masyarakat industri- kapitalis
Kaedah hukum
negara berada di atas kaedah hukum lain, dan karenanya harus tunduk kepada
negara beserta lembaga hukum negara. Pemahaman ideologi sentralisme hukum,
memposisikan hukum adalah sebagai kaedah normatif yang bersifat memaksa,
ekslusif, hirarkis, sistimatis, berlaku seragam, serta dapat berlaku; pertama,
dari atas ke bawah (top downwards) di mana keberlakuannya sangat
tergantung kepada penguasa (Bodin: 1576; Hobbes: 1651; Austin: 1832) atau, kedua dari bawah ke atas (bottom upwards) di mana
hukum dipahami sebagai suatu lapisan kaedah-kaedah normatif yang hirarkis, dari
lapisan yang paling bawah dan meningkat ke lapisan-lapisan yang lebih tinggi
hingga berhenti di puncak lapisan yang dianggap sebagai kaedah utama (Kelsen: 1949; Hart: 1961). Sistem hukum yang dipengaruhi idiologi ini,
seluruh lapisan kaedah normatif ini baru dianggap sah keberlakuannya sebagai
suatu aturan hukum jika sesuai dengan lapisan (norma, kaedah ) yang di atasnya. Khusus kaedah utama yang berada di puncak lapisan –
disebut grundnorm, yaitu suatu kaedah
dasar, nilai dasar yang sudah ada dalam masyarakat, digunakan sebagai kaedah
pembenar oleh negara dalam mengukur kaedah yang berada di bawahnya. Maka hukum
dan penalaran hukum yang berlangsung adalah sebagaimana William Twining
menyebutnya sebagai proses a finite closed scheme of permissible
justification. Apa yang merupakan hukum ditentukan oleh legislatif dalam
bentuk rumusan yang abstrak untuk kemudian melalui proses stufenweise
konkretisierung (kongkritisasi secara bertingkat dari atas- ke bawah, Hans
Kelsen), akhirnya hukum yang semula abstrak menjadi kongkrit
Sentralisme
hukum yang juga disebut hukum modern, dicirikan oleh beberapa sarjana: misalnya oleh Marc Galanter menyebut tidak kurang dari 11 karakteristik
hukum modern itu. Beberapa di antaranya adalah: (1) hukum itu lebih bersifat teritorial daripada personal, dalam arti
penerapannya tidak terikat pada kasta, agama atau ras tertentu; (2) sistemnya diorganisir secara hirarkhis dan birokratis; (3) sistem juga rasional yang artinya, tehnik-tehniknya dapat dipelajari dengan
menggunakan logika dan bahan-bahan hukum yang tersedia dan (4) disamping itu hukum dinilai dari sudut kegunaannya sebagai sarana untuk
menggarap masyarakat, tidak dari kwalitas formalnya; (5) hukum itu bisa diubah-ubah dan bukan merupakan sesuatu yang keramat – kaku; ekssistensi hukum dikaitkan pada (kedaulatam) negara.
Sedangkan
Lawrence M. Friedman, yang membagi unsur sistem hukum dalam tiga macam: (1)
Struktur, (2) substansi
dan (3) kultur, maka hukum modern lebih tepat menggunakan tolok ukur kultur
hukum, maka hukum lebih dilihat dari sudut kegunaan (utilitarian), sehingga ia
mencirikan hukum modern sebagai: (1) sekuler dan pragmatis; (2) berorientasi
pada kepentingan dan merupakan suatu usaha yang dikelola secara sadar oleh
manusia (enterprise); (3) bersifat terbuka dan mengandung unsur
perubahan yang dilakukan secara sengaja.
Sehingga
Lawrence M. Friedman lebih dekat dengan pendapat David M. Trubek, yang
memerinci konsepsi hukum modern sebagai: (1) sistem peraturan-peraturan; (2)
berupa karya manusia dan (3) bersifat otonom, artinya merupakan bagian dari
negara tetapi sekaligus juga terlepas daripadanya.
Pada posisi (sebagai
hukum modern- pen) ini hukum memperoleh penyempitan
makna, karena hukum semakin menjadi sesuatu
yang otonom, lepas dari realitas dan nilai yang seharusnya sebagai substansi
dan pendukungnya. Hal ini berakibat pada suatu keadaan hukum telah cacat sejak
lahirnya, ini sebagai tragedi hukum.
Idiologi
sentralisme hukum inilah sebagai ibu kandung positivisme hukum yang
sering disebut hukum modern, pada paham yang paling ekstrim adalah hukum
harus dibebaskan – dimurnikan - dari nilai-nilai non hukum (etika, moral,
agama), sehingga hukum sebagai bebas nilai (value free), yang
dipositipkan dalam bentuk peraturan dan yang bersumberkan dari negara dalam
bentuk tertulis. Hukum jenis ini dewasa ini sangat dominan dan sebagai penopang
negara penganut modern-liberal, bahkan negara ultra-modern-neoliberal, dengan didukung oleh para pengembannya (pendidikan hukum, profesional dengan standarnisasi yang ketat)
Sebaliknya yang
berlawanan dengan paham sentralisme hukum adalah paham pluralisme hukum. Paham pluralisme hukum menempatkan sistem hukum yang satu berada sama
dengan sistem hukum lain. Menurut Satjipto Rahardjo sejak saat timbulnya hukum
modern yang sentral dari negara, maka mulai tergusurnya jenis hukum lain
seperti hukum adfat dan kebiasaan lainnya. Kalaupun toh jenis-jenis hukum itu
masih berlaku di sana sini, maka itus emua terjadi karena “ kebaikan hati”
hukum negara ( by the grace of state law). Ada beberapa tipe pluralisme hukum. Tipe pertama disebut: Pluralisme
Relatif (Vanderlinden 1989), Pluralisme Lemah (J.Griffith 1986) atau
Puralisme hukum hukum negara (Woodman 1995:9) menunjuk pada kontruksi hukum
yang di dalamnya aturan hukum yang dominan memberi ruang, implisit atau
eksplisit, bagi jenis hukum lain, misalnya hukum adat atau hukum agama. Hukum
negara mengesahkan dan mengakui adanya hukum lain dan memasukkannya dalam
sistem hukum negara. Tipe kedua, yang disebut : Pluralisme Kuat
atau Deskriptif (Griffiths, atau Pluralisme Dalam (Woodman)
pluralisme hukum menunjuk situasi yang di dalamnya dua atau lebih sistem hukum
hidup berdampingan, dengan masing-masing dasar legitimasi dan keabsahannya. Esmi Warasih
dalam pidato pengukuhan beliau sebagai guru besar bahwa;“Penerapan suatu sistem
hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan
masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi
ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari
negara lain dengan nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu
sendiri
Paradigma
pemahaman hukum adat dan perkembangannya harus diletakkan pada ruang yang
besar, dengan mengkaji secara luas:
- Kajian yang tidak lagi melihat sistem hukum suatu negara berupa hukum negara, namun juga hukum adat hukum agama serta hukum kebiasaan;
- Pemahaman hukum (adat) tidak hanya memahami hukum adat yang dalam berada dalam komunitas tradisional- masyarakat pedesaan, tetapi juga hukum yang berlaku dalam lingkungan masyarakat lingkungan tertentu (hybrid law atau unnamed law);
- Memahami gejala trans nasional law sebagaimana hukum yang dibuat oleh organisasi multilateral, maka adanya hubungan interdependensi antara hukum internasional, hukum nasional dan hukum lokal.
Dengan
pemahaman holistik dan intregratif maka perkembangan dan kedudukan hukum adat
akan dapat dipahami dengan memadahi.
Maka studi
hukum adat dalam perkembangan mengkaji hukum adat sepanjang perkembanganya di
dalam masyarakat, dilakukan secara kritis obyektif analitis, artinya hukum adat
akan dikaji secara positif dan secara negative. Secara positif artinya hukum adat dilihat sebagai hukum yang bersumber dari
alam pikiran dan cita-cita masyarakatnya. Secara negatif hukum adat dilihat
dari luar, dari hubungannya dengan hukum lain baik yang menguatkan maupun yang
melemahkan dan interaksi perkembangan politik kenegaraan. Perkembangan hukum
secara positif artinya hukum adat akan dilihat pengakuannya dalam masyarakat
dalam dokrin, perundang-undangan, dalam yurisprudensi maupun dalam kehidupan
masyarakat sehari hari. Sebaliknya perkembangan secara negative bagaimana hukum
adat dikesampingkan dan tergeser atau sama sekali tidak berlaku oleh adanya
hukum positif yang direpresentasikan oleh Negara baik dalam perundang-undangan
maupun dalam putusan pengadilan. Sebagaimana dinyatakan: hukum adat sebenarnya
berpautan dengan suatu masyarakat yang masih hidup dalam taraf subsistem,
hingga kecocokannya untuk kehidupan kota modern mulai dipertanyakan.
Hukum adat
dalam perkembangannya dewasa ini dipengaruhi oleh: Politik hukum yang dianut
oleh Negara dan metode pendekatan yang digunakan untuk menemukan hukum adat.
Hukum adat dalam tulisan ini dilihat
sebagai suatu system. Sistem sesuai dikemukakan oleh Scholten, disetujui
Soepomo, berpendapat: bahwa tiap hukum merupakan suatu system, yaitu
peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam
pikiran.Dalam kaitan itu,
Sunarjati Hartono,16 merekomendasikan beberapa hal dalam rangka
pembentukan dan pengembangan hukum nasional Indonesia dan harus betul-betul
mendapatkan perhatian yaitu hal-hal sebagai berikut:
- Hukum Nasional harus merupakan lanjutan (inklusif modernisasi) dari hukum adat, dengan pengertian bahwa hukum nasional itu harus berjiwa Pancasila. Maknanya, jiwa dari kelima sila Pancasila harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan sedapat-dapatnya juga di masa yang akan datang;
- Hukum nasional Indonesia bukan hanya akan berkisar pada persoalan pemilihan bagian-bagian antara hukum adat dan hukum barat, melainkan harus terdiri atas kaidah-kaidah ciptaan yang baru sesuai dengan kebutuhan dalam menyelesaikan persoalan yang baru pula;
- Pembentukan peraturan hukum nasional hendaknya ditentukan secara fungsional. Maksudnya, aturan hukum yang baru itu secara substansial harus benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat. Selanjutnya, hak atau kewajiban yang hendak diciptakan itu juga sesuai dengan tujuan kita untuk mencapai masyarakat yang adil dalam kemakmuran serta makmur dalam keadilan.
III. Hukum
- Pengertian Hukum Adat.
Pemahaman mengenai hukum adat selama
ini, yang terjadi, bila meminjam istilah Spradley dan McCurdy (1975), ialah
adanya sikap legal ethnocentrism, yakni: the tendency to view the law
of other cultures through the concepts and assumptions of Western.
Padahal, sikap legal ethnocentrism itu mengundang kritik, antara lain:
a) cenderung meniadakan eksistensi dari hukum pada pelbagai masyarakat; dan b)
cenderung mengambil bentuk sistem hukum barat sebagai dasar dari penelaahan dan
penyusunan kebijakan. Catatan penting yang dapat diberikan berkenaan dengan Law
and Development tersebut ialah:
..., hukum modern (dalam hal ini state law) itu
perlu, tapi tidaklah cukup untuk pembangunan ekonomi; adanya ‘the rule of
law’ cukup menolong, namun belum mencukupi untuk melaksanakan pembangunan
politik; di antara kondisi minimum tersebut, hukum bukan hal penting yang
utama. Pusat kegawatan utama adalah pada campuran antara: sejarah negara yang
unik, aspek kultural, ekonomi, politik serta sumberdaya alam dan manusia; dan
negara berkembang akan beruntung bila mereka dapat mengembangkan variannya
sendiri mengenai isi dari ‘the rule of law’ (Tamanaha 1998).
Hukum adat dieksplorasi secara ilmiah
pertama kali dilakukan oleh William Marsden (1783), orang Irlandia yang
melakukan penelitian di Bengkulu, semasa dikuasai Inggris, kemudian diikuti
oleh Muntinghe, Raffles. Namun kajian secara sistimatis dilakukan oleh Snouck
Hourgronye, yang pertama kali menggunakan istilah adatrecht (hukum
adat), dan ia sebagai peletak teori Receptie, ia memandang hukum adat
identik dengan hukum kebiasaan. Istilah Hukum Adat atau adatrecht
pertama kali digunakan pada tahun 1906, ketika Snouck Hurgronye menggunakan istilah
ini untuk menunjukkan bentuk-bentuk adat yang mempunyai konsekwensi hukum.
Kemudian dilanjutkan oleh van
Vallenhoven dengan pendekatan positivisme sebagai acuan berfikirnya, ia
berpendapat ilmu hukum harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu: (1). memperlihatkan
keadaan (gestelheid), (2) kelanjutan (veloop), dan (3)
menemukan keajekannya (regelmaat), berdasarkan itu, ia mempetakan
Hindia Belanda (Indonesia-sekarang) ke dalam 19 lingkungan hukum adat secara
sistematik, berdasarkan itu ia sering disebut Bapak Hukum Adat. Ia mengemukakan
konsep hukum adat, seperti: masyarakat hukum atau persekutuan hukum (rechtsgemeenschap),
hak ulayat atau pertuanan (beschikings-rechts), lingkaran hukum adat (adatrechtskringen).
Selanjutnya Teer Haar; ia dengan
mendasarkan analisisnya pada Teori Keputusan yang dikemukakan oleh John Chipman
Grey menyatakan, semua hukum dibuat oleh hakim (Judge made law), ia
mengemukakan Teori Keputusan (beslissingenleer-theorie).
Mengkaji hukum adat dari berbagai
sudut pandang, namun tetap menunjukkan apa yang disebut hukum adat, akan
menentukan bagaimana hukum adat dalam perkembangannya, dan hukum adat akan
mampu menyesuaian dengan kebutuhan dan tuntutan dalam masyarakat yang akan
terus berubah. Oleh karena itu pemahaman pengertian, pendekatan metodologis
menjadi penting sekali untuk dapat melihat, memahami dan mempelajari
perkembangan hukum adat atau hukum adat dalam perkembangannya.
Hukum adat sebagai hukum yang
dibangun berdasarkan paradigma atau nilai-nilai: harmoni, keselarasan, keutuhan
menentukan corak, sifat, karakter hukum adat.
Kluckhon mengemukakan: nilai
merupakan “a conception of desirable” (suatu konsepsi yang diinginkan).
Maka nilai ada beberapa tingkatan, yaitu:
- Nilai Primer merupakan nilai pegangan hidup bagi suatu masyarakat, bersifat abstrak dan tetap seperti: kejujuran, keadilan, keluhuran budi, kebersamaan dan lain sebagainya.
- Nilai subsider berkenaan dengan kegunaan, karena itu lebih berbicara hal-hal yang bersifat kongkrit. Maka hukum lebih banyak ditujukan pada nilai-nilai sekunder yaitu nilai-nilai yang berguna untuk memecahkan persoalan kongkrit yang sedang dihadapi masyarakat, atau orang-perorang. Timbulnya nilai sekunder tersebut, telah melalui penyaringan (sannering) oleh nilai-nilai primer. Nilai sekunder bisa berubah menyesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan dan menjawab persoalan yang ada dalam masyarakat. Hukum - termasuk hukum adat - sesungguhnya juga didasarkan pada nilai primer, namun pendasaran pada nilai sekunder, sifatnya lebih nyata dilihat dan dipahami.
Hukum adat merupakan istilah tehnis
ilmiah, yang menunjukkan aturan-aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan
masyarakat yang tidak berbentuk peraturan-perundangan yang dibentuk oleh
penguasa pemerintahan. Beberapa definisi hukum adat yang
dikemukakan para ahli hukum, antara lain sebagai berikut:
- Prof.Van Vallenhoven, yang pertama kali menyebut hukum adat memberikan definisi hukum adat sebagai : “ Himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak yang mempunyai sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat). Abdulrahman , SH menegaskan rumusan Van Vallenhoven dimaksud memang cocok untuk mendeskripsikan apa yang dinamakan Adat Recht pada jaman tersebut bukan untuk Hukum Adat pada masa kini.
- Prof. Soepomo, merumuskan Hukum Adat: Hukum adat adalah synomim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislative (statuary law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan Propinsi dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa.
- Prof. Soekanto, merumuskan hukum adat: Komplek adat adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai sanksi (dari itu hukum), jadi mempunyai akibat hukum, komplek ini disebut Hukum Adat
- Prof. Soeripto: Hukum adat adalah semua aturan-aturan/ peraturan-peraturan adat tingkah laku yang bersifat hukum di segala kehidupan orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat hukum oleh karena ada kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/ peraturan itu harus dipertahankan oleh petugas hukum dan petugas masyarakat dengan upaya paksa atau ancaman hukuman (sanksi).
- Hardjito Notopuro: Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata kedilan dan kesejahteran masyarakat dan bersifat kekeluargaan.
- Suroyo Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber apada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkat laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
- Seminar Hukum Adat dan pembinaan Hukum Nasional: Hukum adat diartikan sebagai Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang disana sini mengandung unsur agama.
- Sudjito Sastrodiharjo menegaskan: Ilmu hukum bukan hanya mempelajari apa yang disebut das sollen, tetapi pertama kali harus mengingat das sein. Hukum adat merupakan species dari hukum tidak tertulis, yang merupakan genusnya
Selanjutnya dalam memahami
perkembangan hukum adat dalam masyarakat, maka Prof. Van Vallenhoven
merumuskan: Jikalau dari atas (penguasa) telah diputuskan untuk mempertahankan
Hukum Adat padahal hukum itu sudah mati, maka penetapan itu akan sia-sia
belaka. Sebaliknya seandainya telah diputuskan dari atas bahwa Hukum Adat harus
diganti, padahal di desa-desa, di ladang-ladang dan di pasar-pasar hukum itu
masih kokoh dan kuat, maka hakim-pun akan sia-sia belaka. Dengan kata lain memahami
hukum adat harus dilakukan secara dinamik, dan selaras antara atas – yang
memutuskan – dan bawah yang menggunakan - agar dapat diketahui dan dipahami
perkembangannya.
Menurut Soepomo, Hukum adat adalah
suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari
rakyat. Dalam berbagai seminar, maka berkembang kemudian hukum yang hidup
dalam masyarakat (living law) yang lazim dipergunakan untuk, menunjukkan
berbagai macam hukum yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di dalam
masyarakat, yang menurut Satjipto Raharjo, akan tetap ada sebagai kelengkapan
dari Hukum Nasional. Penyebutan Hukum Adat untuk hukum yang tidak tertulis
tidak mengurangi peranannya dalam memberikan penyaluran dari kebiasaan,
kepentingan-kepentingan yang tidak terucapkan dalam hukum tertulis.
4.
Azas azas
Hukum Adat
Hukum adat yang tumbuh dari
cita-cita dan alam pikiran masyarakat Indonesia, yang bersifat majemuk, namun
ternyata dapat dilacak azas-azasnya, yaitu:
1. Azas Gotong
royong;
- Azas fungsi sosial hak miliknya;
- Azas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum;
- Azas perwakilan dan musyawaratan dalam sistem pemerintahan
- Sifat Corak Hukum Adat
Sifat Hukum Adat.
Hukum adat
berbeda dengan hukum bersumberkan Romawi atau Eropa Kontinental lainnya. Hukum
adat bersifat pragmatisme –realisme artinya mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat yang bersifat fungsional religius, sehingga hukum adat mempunyai
fungsi social atau keadilan social. Sifat yang menjadi ciri daripada hukum adat
sebagai 3 C adalah:
- Commun atau komunal atau kekeluargaan (masyarakat lebih penting daripada individu);
- Contant atau Tunai perbuatan hukum dalam hukum adat sah bila dilakukan secara tunai, sebagai dasar mengikatnya perbuatan hukum.
- Congkrete atau Nyata, Riil perbuatan hukum dinyatakan sah bila dilakukan secara kongkrit bentuk perbuatan hukumnya. 28/10/2008 klas F
Djojodigoeno
menyebut hukum adat mempunyai sifat: statis, dinamis dan plastis
- Statis, hukum adat selalu ada dalam amsyarakat,
- Dinamis, karena hukum adat dapat mengikuti perkembangan masyarakat, yang
- Plastis/Fleksibel, kelenturan hukum adat sesuai kebutuhan dan kemauan masyarakat.
Sunaryati
Hartono, menyatakan: Dengan perspektif perbandingan, maka ketiga ciri dapat
ditemukan dalam hukum yang berlaku dalam masyarakat agraris atau pra industri,
tidak hanya di Asia tetapi juga di Eropa dan Amerika. Surnarjati Hartono
sesungguhnya hendak mengatakan bahwa hukum adat bukan khas Indonesia, namun
dapat ditemukan juga di berbagai masyarakat lain yang masih bersifat pra
industri di luar Indonesia.
Corak Hukum Adat
Soepomo
mengatakan: Corak atau pola – pola tertentu di dalam hukum adat yang merupakan
perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang
tertentu oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah:
- Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat ; artinya , menusia menurut hukum adat , merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat , rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat;
- Mempunyai corak magisch – religius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia;
- Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang kongkret. Sistem hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup.
- Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya- hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (atau tanda yang tampak).
Moch Koesnoe mengemukakan
corak hukum adat :
- Segala bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu kiasan saja. Menjadi tugas kalangan yang menjalankan hukum adat untuk banyak mempunyai pengetahuan dan pengalaman agar mengetahui berbagai kemungkinan arti kiasan dimaksud;
- Masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya. Artinya dalam hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh;
- Hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan azas-azas pokok . Artinya dalam lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan keadaan serta segalanya diukur dengan azas pokok, yakni: kerukunan, kepatutan, dan keselarasan dalam hidup bersama;
- Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas hukum adat untuk melaksanakan hukum adat.
Hilman
Hadikusuma mengemukakan corak hukum adat adalah:
- Tradisional; artinya bersifat turun menurun, berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat bersangkutan.
- Keagamaan (Magis-religeius); artinya perilaku hukum atau kaedah-kaedah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yanag gaib dan atau berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Kebersamaan (Komunal), artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama, sehingga kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama. Ujudnya rumah gadang, tanah pusaka (Minangkabau) . Dudu sanak dudu kadang yang yen mati melu kelangan (Jw).
- Kongkrit/ Visual;artinya jelas, nyata berujud. Visual artinya dapat terlihat, tanpak, terbuka, terang dan tunai. Ijab – kabul, , jual beli serah terima bersamaan (samenval van momentum)
- Terbuka dan Sederhana;
- Dapat berubah dan Menyesuaikan;
- Tidak dikodifikasi;
- Musyawarah dan Mufakat;
Sifat dan corak
hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam kehidupan masyarakatnya, karena
hukum hanya akan efektif dengan kultur dan corak masyaraktnya. Oleh karena itu
pola pikir dan paradigma berfikir adat sering masih mengakar dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari sekalipun ia sudah memasuki kehidupan dan aktifitas yang
disebut modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar