A. LEGALITAS
DALAM HUKUM PIDANA
Syarat
pertama untuk menindak suatu perbuatan tercela harus ada suatu ketentuan dalam
undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela itu dan memberikan suatu
sanksi terhadapnya. Sebagai contoh, Seorang suami yang menganiaya atau
mengancam akan menganiaya istrinya untuk memaksa bersetubuh tidak dapat
dipidana menurut hukum yang berlaku sekarang. Pasal 285 KUHP hanya mengancam
pelaku perkosaan “di luar pernikahan. Pergerakan wanita di Belanda mendesak
dengan sangat supaya perkosaan dalam pernikahan juga ditetapkan sehingga
pelakunya dapat dipidana. Pembentuk undang-undang dalam waktu yang akan datang
harus menghadapi persoalan seperti ini.
B. JENIS-JENIS
PERUNDANG-UNDANGAN
Asas
legalitas mensyaratkan terikatnya hakim pada undang-undang. Selain itu, juga
mensyaratkan agar acara pidana dijalankan menurut cara yang telah diatur dalam
undang-undang. Hal ini tercantum dalam Pasal 3 KUHAP sebagai pasangan dan Pasal
1 ayat (1) KUHP. Oleh karena itu, harus diperhatikan apa yang dimaksud dengan
ketentuan pidana menurut undang-undang’ dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan Pasal 3
KUHAP.
- Undang-Undang dalam Arti Materiil dan Formal
Undang-undang
dalam arti materiil’ berarti peraturan yang dibuat oleh badan pemerintah yang
berwenang yang berlaku umum dan yang mengikat penduduk.
“Undang-undang
dalam arti formal” berarti undang-undang yang dibuat berdasarkan cara yang
telah ditentukan dalam UUD oleh pemerintah dan DPR. UUD juga merupakan
undang-undang dalam arti formal, demikian juga KUHP dan KUHAP.
Contoh dari
undang-undang dalam arti materiil yang bukan sekaligus merupakan undang-undang
dalam arti formal adalah peraturan-peraturan umum dan pembentuk undang-undang
yang lebih rendah.
- Pembentuk Undang-Undang Formal dan Para Pembentuk Undang-Undang yang Lebih Rendah
Di samping
pembentuk undang-undang formal yaitu pemerintah bersama-sama DPR, terdapat
pelbagai pembentuk undang-undang yang lebih rendah. Wewenang para pembentuk
undang-undang yang Iebih rendah dapat ditentukan secara teritorial atau
fungsional. Contoh dari pembentuk undang-undang teritorial yang Iebih rendah di
Belanda ialah provinsi dan kota
madya, sedangkan yang fungsional adalah pemerintah dan bedrijfschappen.
Wewenang dari
pembentuk undang-undang yang lebih rendah untuk membuat undang-undang dalam
arti materiil selalu berdasarkan undang-undang dalam arti formal, yang juga
membatasi wewenang tersebut, misalnya, wewenang kota madya untuk membuat
peraturan daerah ditetapkan dalarn undang-undang kota madya (gemeentewet). Menurut undang-undang ini
peraturan kota madya hanya boleh mengatur rumah
tangga kota
madya sendiri dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dalam arti
formal. Gemeentewet juga menetapkan
pidana terberat yang boleh dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan kota
madya, yaitu pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak
lima ribu “gulden” (uang Belanda).
Wewenang dari
pemerintah untuk membuat undang-undang dalam arti materiil harus berdasarkan
undang-undang dalam arti formal. Sebagai Contoh, Undang-Undang Lalu Lintas
Jalan (Wegenverkeerswet) menguasakan
pembuatan peraturan daerah (algemene
maatregel van bestuur) mengenai lalu lintas jalan dan mengancam
pelanggarnya dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak
lima ribu “gulden”.
Suatu
undang-undang dalam arti materiil boleh melengkapi suatu peraturan dan
undang-undang dalam arti formal, tetapi tidak boleh melanggarnya. Apabila suatu
undang-undang dalam arti materiil melanggar undang-undang dalam arti formal,
undang-undang dalam arti materiil tidak boleh diterapkan hakim.
- Arti Pasal 103 KUHP
Permasalahan
umum mengenai hukum pidana diatur dalam undang-undang dalam arti formal.
Sebagian besar diatur dalam Buku I KUHP. Pasal 103 KUHP melarang pembentuk
undang-undang yang lebih rendah untuk memasuki wilayah ini. Misalnya, mengenai
pidana dan tindakan. Pembentuk undang-undang yang lebih rendah tidak boleh
menyimpang dan yang telah ditetapkan dalam Buku 1 KUHP.
Pembentuk
undang-undang formal sendiri tidak terikat pada peraturan yang dia tetapkan
dalam Buku I KUHP. Ia boleh membuat peraturan yang menyimpang dalam
undang-undang yang tersendiri. Sebagai contoh, Undang-Undang Tindak Pidana
Ekonomi; bandingkan Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 yang merupakan
undang-undang dalam arti formal. Di dalamnya ditetapkan pidana dan tindakan
yang khusus ditujukan terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak dikenal dalam
KUHP.
C. ARTI
PASAL 1 KUHP
Pasal 1 KUHP
menjelaskan kepada kita bahwa :
- Suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Oleh karena itu, pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan.
- Ketentuan pidana itu harus Iebih dahulu ada dari perbuatan itu. Dengan perkataan lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Oleh karena itu, ketentuan tersebut tidak berlaku surut, baik mengenai ketetapan dapat dipidana maupun sanksinya.
- Pasal ayat (2) KUHP membuat pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan terdakwa.
Yang menjadi
pertanyaan, apa yang dimaksud dengan “ketentuan pidana menurut undang-undang”
dalam Pasal 1 KUHP itu, apakah undang-undang dalam arti formal, materiil, atau
kedua-duanya?
Ada yang menganggap Pasal 1
ayat (1) KUHP sebagai ancang-ancang pengecualian dalam ayat (2). Kalau
dipandang demikian, Pasal 1 KUHP hanya mensyaratkan adanya ketentuan pidana
menurut undang-undang, tetapi tidak memuat syarat-syarat tentang bentuk atau
isi dan interpretasi dan ketentuan-ketentuan pidana. Akan tetapi, menurut
jiwanya Pasal 1 ayat (1) KUHP merupakan wujud yang jelas dari asas legalitas
yang menjangkau lebih jauh dan yang terbaca dalam Pasal 1 KUHP. Dalam asas legalitas
tampak jaminan dasar kepastian hukum, tumpuan dari hukum pidana dan hukum acara
pidana.
Selanjutnya, asas
legalitas dapat dijumpai dalam sumber-sumber hukum internasional, seperti :
- Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 1948, Pasal 11 ayat
- Perjanjian Eropa untuk Melindungi Hak Manusia dan Kebebasan Asasi 1950 (Perjanjian New York) Pasal 15 ayat (1).
Sesuai dengan
jiwa Pasal 1 KUHP disyaratkan juga bahwa ketentuan undang-undang harus
dirumuskan secermat mungkin, ini dinamakan asas lex certa. Undang-undang harus membatasi dengan tajam dan jelas wewenang
pemerintah terhadap rakyat (lex certa:
undang-undang yang dapat dipercayai).
Pengertian
dasar Pasal 1 KUHP juga berkaitan dengan jiwa Pasal 3 KUHAP, yaitu hukum pidana
harus diwujudkan dengan prosedur yang memadai dan dengan jaminan hukum.
Berlakunya asas
legalitas seperti diuraikan di atas memberikan sifat perlindungan pada
undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang
tanpa batas dari pemerintah. Ini dinamakan fungsi melindungi dan undang-undang
pidana. Di samping fungsi melindungi, undang-undang pidana juga mempunyai fungsi
instrumental, yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang,
pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan. Asas
legalitas ada hubungannya dengan fungsi instrumental dan undang-undang pidana
tersebut. Ini akan terlihat dalam paragraf berikutnya, yaitu dalam anti
keharusan untuk menuntut, suatu paham yang diikuti oleh beberapa negara lain,
tetapi tidak oleh Belanda.
Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman
(1775-1833), sehubungan dengan kedua fungsi itu, merumuskan asas legalitas
secara mantap dalam bahasa Latin, yaitu :
- Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang.
- Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
- Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.
Rumusan
tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat, yaitu nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.
Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana, tanpa ketentuan
undang-undang terlebih dahulu.
Sehubungan
dengan hal tersebut, aturan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP
dinamakan aturan-nullum-crimen.
- Asas Legalitas atau Asas Oportunitas terhadap Penuntutan Pidana
Rumusan ketiga
von Feuerbach berhubungan dengan
fungsi instrumental undang-undang pidana dan merupakan pengungkapan ajaran “paksaan
psikologis:. Undang-undang pidana diperlukan, demikian menurut von Feuerbach, untuk memaksa rakyat
berbuat menurut hukum dengan mengancamkan pidana terhadap perbuatan yang
melawan hukum. Akan tetapi, agar ancaman pidana itu mempunyai efek, setiap
pelanggar undang-undang harus sungguh-sungguh dipidana.
Pemerintah juga
harus selalu menggunakan wewenang yang diberikan kepadanya untuk memidana. Di sini
pun terdapat landasan syarat keadilan, yaitu asas persamaan. Adalah tidak adil
dalam keadaan yang sama memidana pelanggar undang-undang yang satu, sedangkan
yang lain tidak.
Dalam arti
keharusan menuntut pidana, asas legalitas mempunyai banyak pengikut terutama di
Jerman, di mana sejak akhir abad yang lalu titik tolak dari tindakan yustisial,
yaitu setiap pelanggaran undang-undang harus dituntut, ini berlaku juga di Austria,
Spanyol, dan Italia.
Sebaliknya, di
Prancis, Belgia. dan terutama di Belanda, diikuti asas oportunitas yang
menentukan bahwa pemerintah berwenang, tetapi tidak berkewajiban menurut
undang-undang untuk menuntut semua perbuatan pidana. Oleh karena itu, alasan
oportunitas penuntutan dapat juga diabaikan.
Tidak dapat
dikatakan bahwa karena metode yang telah dipilih, yaitu menempatkan hukum
pidana dalam undang-undang, cita-cita keadilan telah tercapai secara sempurna.
Di sana-sini terdapat banyak kekurangan. Metode itu ternyata tidak sempurna dan
akan kita lihat di bawah ini.
Dalam penerapan
akan tampak perbedaan kedua fungsi tersebut. Demi Kepentingan fungsi
instrumental. undang-undang pidana kadang-kadang mengurangi fungsi melindungi.
Syarat-syarat perlindungan hukum terhadap rakyat tidak boleh mengikat
pemerintah sedemikian rupa sehingga menghalangi perjalanan tugas penuntutan
pidana yang efektif. Dalam hal ini, harus ada pertimbangan kepentingan karena
kita berada di lapangan politik kriminal. Lagi pula, struktur sosial ekonomi
masyarakat sekarang ini sudah berbeda dengan struktur sosial ekonomi pada waktu
asas legalitas diperkenankan sebagai reaksi terhadap ketidakpastian hukum dan
kesewenang-wenangan dalam abad ke-18. Oleh karena itu, kepentingan-kepentingan
tersebut menjadi jauh lebih kompleks.
Kedua fungsi
asas legalitas adalah sebagai berikut :
a.
Instrumental, tidak ada perbuatan
pidana yang tidak dituntut.
b.
Melindungi, tidak ada pemidanaan
kecuali atas dasar undang-undang.
- Berbagai Aspek Asas Legalitas
Ada tujuh aspek asas legalitas
yang dapat dibedakan, yaitu :
a.
Tidak
dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang.
b.
Tidak
ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi.
c.
Tidak
dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.
d.
Tidak
boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa).
e.
Tidak
ada kekuatan surut dan undang-undang pidana.
f.
Tidak
ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang.
g.
Penuntutan
pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.
Berikut ini
akan diuraikan satu per satu mengenai ketujuh aspek di atas.
a. Tidak
dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang
Pasai 1 KUHP
menetapkan bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan
aturan pidana menurut undang-undang yang telah ada sebelumnya. Penentuan dapat
dipidana harus terjadi melalui undang-undang dalam arti formal atau berdasarkan
kekuatan undang-undang dalam arti formal, yang berarti undang-undang dalam arti
materiil yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang lebih rendah yang
dikuasakan oleh undang-undang dalam arti formal untuk berbuat demikian. Suatu
ketentuan pidana yang tidak memenuhi syarat itu tidak mengikat sehingga hakim
tidak boleh menerapkannya. Suatu penentuan dapat dipidana oleh kota madya yang tidak mengenai rumah
tangganya sendiri atau penentuan demikian dapat dipidana oleh pemerintah daerah
yang tidak berlandaskan undang-undang dalam arti formal, misalnya, tidak
mengikat.
b. Tidak
ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi
Penerapan
undang-undang berdasarkan analog) berarti penerapan suatu ketentuan atas suatu
kasus yang tidak termasuk di dalamnya. Penerapan berdasarkan analog) dan
ketentuan pidana atas kejadian-kejadian yang tidak diragukan patut dipidana,
tetapi tidak termasuk undang-undang pidana memang pernah dilakukan.
Selama masa
pendudukan Jerman (di Belanda), hal itu untuk beberapa tahun diterapkan menurut
undang-undang dengan mengikuti contoh di Jerman, di mana rezim Nazi menggunakan
gesundes Volksempfinden sebagai kriterium. Pada tahun 1945 hal itu segera
diakhiri.
Fungsi melindungi
dari undang-undang pidana dan penerapan berdasarkan analogi tidak mungkin
digabungkan. Tidak percuma para penyusun KUHP Belanda bersusah payah merumuskan
ketentuan-ketentuan itu secermat mungkin. Kalau dalam KUHP diatur
perbuatan-perbuatan yang sudah lazim dimengerti sebagai perbuatan tercela,
fungsi perlindungan Iebih besar lagi artinya untuk perundang-undangan khusus
dan yang lebih rendah, di mana perbuatan-perbuatan yang secara moril tidak
tercela tetapkan sebagai hal yang dapat dipidana.
1)
Cara-cara
penafsiran hakim
Terutama dalam
kasus batas, sering kali sangat sulit untuk mengetahui apakah suatu kasus
tertentu termasuk atau tidak termasuk dalam ketentuan pidana. Dengan demikian,
hakim wajib menetapkan arti yang tepat dari ketentuan pidana tersebut. Dia
harus menafsirkan dan menjabarkan ketentuan itu.
Metode-metode
penafsiran yang lazim digunakan oleh hakim untuk mendapatkan pemecahan yang
adil, adalah sebagai berikut :
a) Metode
penafsiran gramatikal
Hakim di sini
memerhatikan arti ketentuan menurut tata bahasa. Contoh, HR 12-11-1900 (Putusan
Kuda Pemacak ”Frans”). Peraturan Provinsi Friesland tentang Pemeriksaan Kuda
Pemacak melarang ‘menggunakan pemacakan dan secara terbuka menawarkan pemacakan
kuda yang tidak diperiksa. Seseorang telah menggunakan seekor kuda jantan untuk
pemacakan, tetapi tidak menawarkan pemacakan. Penuntut umum menganggap
perbuatan itu merupakan perbuatan pidana menurut maksud peraturan provinsi.
Akan tetapi, terdakwa dianggap tidak dapat dipidana, demikian menurut Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda),
karena “maksud dari undang-undang tidak mungkin berlawanan dengan perkataan
yang digunakan oleh pembentuk undang-undang”.
b) Metode
penafsiran menurut sejarah undang-undang
Di sini arti
ketentuan ditetapkan berdasarkan laporan, perjanjian, nota, diskusi, sidang,
dan sebagainya yang berperan dalam perumusan ketentuan tersebut. Contoh: HR
28-11-1961 (Putusan Tembakau). Oleh Undang-Undang Tembakau di Belanda, dilarang
memberiikan, baik hadiah, tambahan, maupun kupon pada penjualan hasil tembakau.
Suatu perkumpulan koperasi memberikan kepada para anggotanya “dividen konsumen”
sebesar 4% dengan menukarkan bon-bon kasa (di antaranya terdapat bon penjualan
hasil tembakau). Dari penjelasan Menteri Keuangan ketika Undang-Undang Tembakau
dibuat, tidak dapat ditarik kesimpulan oleh Hoge
Raad bahwa larangan undang-undang
tersebut meliputi pemberian dividen untuk konsumen oleh perkumpulan koperasi
kepada para anggotanya.
c)
Metode penafsiran
sistematis
Di sini arti
ketentuan ditetapkan berdasarkan hubungan ketentuan itu dengan
ketentuan-ketentuan yang lain, jadi berdasarkan sistem undang-undang. Contoh:
HR 24-5-1897 (Putusan Abortus). Pasal 346 KUHP menetapkan bahwa dapat dipidana
orang yang menyebabkan keguguran janin. Ketentuan ini terdapat dalam Bab XIX, Buku
II KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa. Oleh karena itu, Hoge Raad menyimpulkan bahwa menyebabkan keguguran hanya termasuk
ketentuan pidana kalau janin itu hidup.
d) Metode
penafsiran teleologis
Di sini arti
ketentuan ditetapkan berdasarkan tujuannya. Contoh: HR 2-2-1971 (Putusan
Penyerobotan Rumah Kosong di Nijmegen). Mengenal hal ini, dipertanyakan apakah
menurut Pasal 167 KUHP mengganggu ketenteraman rumah tangga meliputi rumah yang
kosong. Hoge Raad menetapkan bahwa
sejauh mengenal rumah, khususnya ingin melindungi hak mendiami rumah dan kata
“dipakai hanya dapat diartikan dipakai sebagai rumah tinggal”, jadi tidak
meliputi rumah yang kosong.
Selain itu,
yang dapat dipandang sebagai suatu jenis penafsiran teleologis adalah metode
penafsiran fungsional. Dalam hal ini, yang diperhatikan adalah fungsi sosial
yang pelaksanaannya diatur oleh undang-undang, misalnya, ketentuan tentang
pembangunan rumah tanpa izin berlaku, baik bagi yang menyuruh untuk membangun (bouwheer,), arsitek, maupun pemborongnya
meskipun ketiga-tiganya tidak ada yang mengerjakannya sendiri. Contoh: HR
11-5-1982 (Giraalgeld Arrest). Karena kekeliruan bank (pada
tahun 1978 di Belanda), seorang wanita muda telah menerima uang sebanyak
sepuluh juta rupiah pada rekening bankrya, yang sebenarnya kepunyaan suatu
perusahaan industri. Uang tersebut diambilnya dari bank dan dipergunakan sampai
habis untuk berlibur. Sesudah itu, wanita tersebut dituntut karena penggelapan
(Pasal 372 KUHP). Menurut pengacaranya, kredit bank bukan merupakan barang,
melainkan tagihan sesuai dengan HR, yaitu dilihat dari sudut fungsinya dalam
masyarakat. Di samping itu, kredit bank pun merupakan barang yang dapat
dimiliki.
2)
Penafsiran
restriktif atau ekstensif
Melihat
hasilnya, cara penafsiran yang dipilih oleh hakim untuk menafsirkan suatu
ketentuan dapat dinamakan restriktif atau ekstensif jika ketentuan itu
ditafsirkan secara lebih sempit atau lebih luas daripada jika ditafsirkan
menurut tata bahasa. Yang menjadi pertanyaan, menurut pendapat Anda, apakah
Putusan Abortus dan Putusan. Penyerobotan Rumah Kosong di Nijmegen merupakan
contoh penafsiran restriktif atau ekstensif?
Dalam beberapa
kejadian, hakim menafsirkan suatu ketentuan sedemikian ekstensif sehingga dapat
dipertanyakan, apakah di sini asas legalitas tidak dirusak oleh penerapan
undang-undang berdasarkan analogi terselubung? Contoh: HR 23-5-1921 (Putusan
Aliran Listrik). Perkara ini mengenai penggunaan aliran listrik tidak melalui
meteran pengontrol, yaitu dengan cara menghentikan meteran tersebut dengan
menusukkan sebuah paku setiap setelah dikontrol petugas pemeriksa. Yang menjadi
pertanyaan waktu itu, apakah tenaga listrik merupakan barang yang dapat diambil
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum dalam arti Pasal 362 KUHP?
Jaksa Agung
(Muda) pada Hoge Raad tidak
berpendapat demikian Menurut beliau, pencurian hanya dapat dilakukan terhadap
barang-barang berwujud. Karena perbuatan yang telah dilakukan juga tidak
dipidana menurut undang-undang lainnya, hanya dapat dikatakan bahwa di sini
terdapat kekosongan dalam perundang-undangan Pasal 362 KUHP tidak boleh
dipaksakan supaya berlaku untuk perbuatan tersebut. Hal demikian, katanya,
dilarang oleh Pasal 1 KUHP.
Hoge Raad tidak sependapat dan beranggapan bahwa Pasal 362 KUHP
dapat diterapkan sebab pasal ini bermaksud untuk melindungi harta benda orang
lain sehingga menyatakan dapat dipidana mengambil barang (dengan maksud untuk
dimiliki secara melawan hukum) tanpa penjelasan Iebih lanjut mengenai apa arti
“barang” itu.
Jika suatu
perbuatan tidak memenuhi perumusan delik menurut undang-undang, penafsiran ekstensif
mengartikan perumusan tersebut sedemikian luas sehingga perumusan delik dalam
kasus ini terpenuhi juga.
Dengan
penerapan berdasarkan analogi sebaliknya juga dijatuhkan pidana apabila
perbuatan tersebut tidak memenuhi suatu perumusan delik terhukum tentu, tetap
mirip dengan perbuatan-perbuatan lain yang memang memenuhi perumusan itu.
c. Tidak
dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan
Pemidanaan
harus dilaksanakan berdasarkan undang-undang menurut Pasal 1 KUHP. Jadi,
pelanggaran atas kaidah kebiasaan dengan sendirinya belum menghasilkan
perbuatan pidana. Itu tidak berarti bahwa kaidah-kaidah kebiasaan tidak
berperan dalam hukum pidana, adakalanya undang-undang pidana secara implisit
atau eksplisit menunjuk ke situ.
Penunjukan
secara implisit pada kebiasaan terdapat pada norma yang samar-samar, seperti
dalam Pasal 282 KUHP: “melanggar kesusilaan”. Bandingkan Pasal 2 Undang-Undang
Lalu Lintas Jalan: yang mengganggu keamanan lalu lintas” dengan beberapa delik
omisi di mana tidak berbuat dapat dipidana.
Contoh Pasal
302 KUHP (tidak memberikan makanan yang diperlukan) dan dalam Pasal 304 KUHP
(membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara). Kedua contoh tersebut merupakan
perbuatan-perbuatan yang disengaja, juga merupakan perbuatan pidana yang timbul
karena kekurangcermatan atau kelalaian. Ini dinamakan delik-delik kulpa dan di sini pun terdapat contoh-contoh penunjukan
secara implisit ke kebiasaan dan penadahan karena kealpaan. KUHP menyatukan ini
dalam Pasal 480 dengan penadahan karena kesengajaan. Jika seseorang menjajakan
alat-alat rumah tangga (hasil curian) dari rumah ke rumah, pembelinya bisa
mengira berhubungan dengan pedagang jujur. Lain halnya jika yang ditawarkan itu
perhiasan mahal.
d. Tidak
boleh ada perumusan delik yang kurang jelas
Syarat lex certa berarti undang-undang harus
cukup jelas sehingga :
1)
Merupakan
pegangan bagi warga masyarakat dalam memilih tingkah lakunya dan
2)
Untuk
memberikan kepastian kepada penguasa mengenai batas-batas kewenangannya.
Namun, tidak
mungkin untuk merumuskan semua kelakuan yang patut dipidana secara cermat dalam
undang-undang. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang untuk kelakuan
dari peserta-peserta laIulintas masyarakat, juga ditentukan berdasarkan
kebiasaan yang berlaku di situ.
e. Ketentuan
pidana tidak berlaku surut
Pasal 1 ayat
(1) KUHP menyebutkan bahwa :
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali
atas kekuatan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada sebelumnya”.
Pasal 1 ayat
(2) KUHP memberikan kekecualian atas ketentuan itu :
“Jika sesudah dilakukannya perbuatan ada perubahan dalam
perundang-undangan, dipakai peraturan yang paling ringan bagi terdakwa.”
Jadi, perubahan
undang-undang untuk kepentingan terdakwa yang terjadi setelah perbuatan
dilakukan yang diberikan kekuatan surut. Peraturan ini berlaku untuk seluruh
proses perkara. Dengan perkataan lain, jika dalam waktu antara putusan tingkat
pertama (oleh hakim pengadilan negeri) dan tingkat banding atau antara tingkat
banding dan kasasi terjadi perubahan undang-undang untuk kepentingan terdakwa,
pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung harus menerapkan Pasal
1 ayat (2) KUHP.
Menurut
Ketetapan Krisis Garapan Ladang di Belanda, yang dibuat berdasarkan
Undang-Undang Krisis Pertanian, seseorang dilarang mengangkut kentang tanpa surat pengantar. Telah
dibuat berita acara terhadap seseorang yang mengangkut kentang tanpa surat pengantar. Sebelum
dia diadili, syarat untuk membawa surat
pengantar dihapuskan.
Sebagai
kriterium untuk menentukan apakah hal tersebut merupakan perubahan undang-undang
dalam anti Pasal 1 ayat (2) KUHP, Hoge
Raad bertanya, apakah ada “perubahan pandangan pembentuk undang-undang
mengenai patut dipidananya perbuatan yang telah dilakukan”? Dalam hal ini, diputuskan
tidak karena peraturan yang bersangkutan bersifat Sementara.
Kriterium ini
memberikan pegangan pada gejala yang disebut pendelegasian perundang-undangan
di bidan sosial ekonomi. Dengan demikian, jelaslah bahwa perubahan harga bensin,
misalnya, bukan perubahan perundang-undangan dalam arti Pasal 1 ayat(2) KUHP.
lngat! Larangan kekuatan surut hanya berlaku untuk
ketentuan pidana, bukan untuk peraturan yurisdiksi, misalnya, yang
berhubungan dengan wewenang pembentuk undang-undang nasional lainnya (untuk
hukum pidana lihat Pasal 2 - Pasal 9 KUHP dan peraturan mengenal daluwarsa
Pasal 78 - Pasal 80 KUHP).
Pelanggaran
terhadap larangan kekuatan surut dilakukan oleh pembentuk undang-undang Belanda
untuk memidana penjahat-penjahat perang setelah Perang Dunia II. Hal ini
mencontoh Piagam Pengadilan Militer Internasional di Neurenberg (Jerman).
Sehubungan dengan Ketetapan Hukum Pidana Luar Biasa (BBS-”Besluit Buitengewoon Strafrecht” 1943), Pasal 1 Sr di Belanda
dinyatakan tidak berlaku dan perbuatan-perbuatan tercela yang dilakukan selama
perang dinyatakan dapat dipidana dengan kekuatan surut. Keadaan ini pada
umumnya dibela dengan dalih bahwa perbuatan-perbuatan tersebut waktu itu oleh
setiap orang juga tanpa undang-undang dapat dimengerti sebagai perbuatan yang
tidak diperbolehkan dan merupakan kejahatan. Sekarang kejadian-kejadian
demikian dikecualikan dan asas legalitas, seperti yang terdapat dalam Pasal 7
ayat (2) Perjanjian Roma dan Pasal 15 ayat (2) Perjanjian New York.
Pada tahun 1971
sifat daluwarsa dihapuskan untuk kejahatan-kejahatan perang yang paling berat.
Akan tetapi, sebagaimana telah kita ketahui bahwa hal ini bukan merupakan
pelanggaran terhadap larangan kekuatan surut.
f. Tidak
ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang
“Undang-undang
menentukan pidana-pidana yang dijatuhkan,” demikian bunyi Pasal 89 ayat (2)
kalimat kedua UUD Belanda. Yang dimaksud dengan undang-undang di sini adalah
undang-undang dalam arti formal.
Pembentuk
undang-undang yang lebih rendah dapat membuat peraturan pidana selama diizinkan
oleh pembentuk undang-undang formal, tetapi tidak boleh menciptakan pidana lain
selain yang ditentukan oleh undang-undang dalam arti formal.
Hakim pun tidak
boleh menjatuhkan pidana lain selain dan yang telah ditentukan oleh
undang-undang. Meskipun demikian, Pasal 14a KUHP memberikan wewenang kepada
hakim untuk menetapkan syarat khusus pada pidana bersyarat berupa
kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi terpidana. Akan tetapi, hal ini
ada batas-batasnya. Telah dilakukan percobaan menurut contoh di Inggris untuk
menciptakan jenis pidana baru, yaitu “pidana kerja sosial” yang terdiri atas
melakukan pekerjaan yang berguna untuk masyarakat selama waktu tertentu.
g. Penuntutan
pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang
Telah diketahui
bahwa Pasal 1 Sv (KUHAP Belanda), berbeda dengan Pasal 1 Sr (KUHP Belanda) yang
tidak memberikan kemungkinan pendelegasian wewenang untuk membuat peraturan
acara pidana kepada pembentuk undang-undang yang lebih rendah. Pembentuk
undang-undang yang lebih rendah dapat membuat peraturan pidana (dalam batas-batas
yang ditentukan undang-undang dalam arti formal), tetapi tidak dapat membuat
peraturan acara pidana.
Hal ini
menimbulkan perbedaan yang lain, yaitu mengenai apa yang dapat dipidana dan apa
yang tidak dapat dipidana. Mengenai hal ini mungkin ada perbedaan-perbedaan
teritorial. Sesuatu yang dilarang di suatu daerah berdasarkan peraturan daerah
itu, di daerah lain yang berdekatan, mungkin tidak demikian. Akan tetapi,
bertalian dengan peraturan acara pidana para pembentuk undang-undang lokal
tidak memiliki kewenangan.
Dengan
demikian, peraturan acara pidana sama di seluruh negara. Ingat! Larangan
membuat peraturan acara pidana berlaku untuk pembentuk undang-undang yang lebih
rendah, tidak untuk pembentuk undang-undang dalam arti formal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar