Minggu, 01 April 2012

Asas Legalitas


A.   LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA
Syarat pertama untuk menindak suatu perbuatan tercela harus ada suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela itu dan memberikan suatu sanksi terhadapnya. Sebagai contoh, Seorang suami yang menganiaya atau mengancam akan menganiaya istrinya untuk memaksa bersetubuh tidak dapat dipidana menurut hukum yang berlaku sekarang. Pasal 285 KUHP hanya mengancam pelaku perkosaan “di luar pernikahan. Pergerakan wanita di Belanda mendesak dengan sangat supaya perkosaan dalam pernikahan juga ditetapkan sehingga pelakunya dapat dipidana. Pembentuk undang-undang dalam waktu yang akan datang harus menghadapi persoalan seperti ini.
B.   JENIS-JENIS PERUNDANG-UNDANGAN
Asas legalitas mensyaratkan terikatnya hakim pada undang-undang. Selain itu, juga mensyaratkan agar acara pidana dijalankan menurut cara yang telah diatur dalam undang-undang. Hal ini tercantum dalam Pasal 3 KUHAP sebagai pasangan dan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Oleh karena itu, harus diperhatikan apa yang dimaksud dengan ketentuan pidana menurut undang-undang’ dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 KUHAP.
  1. Undang-Undang dalam Arti Materiil dan Formal
Undang-undang dalam arti materiil’ berarti peraturan yang dibuat oleh badan pemerintah yang berwenang yang berlaku umum dan yang mengikat penduduk.
“Undang-undang dalam arti formal” berarti undang-undang yang dibuat berdasarkan cara yang telah ditentukan dalam UUD oleh pemerintah dan DPR. UUD juga merupakan undang-undang dalam arti formal, demikian juga KUHP dan KUHAP.
Contoh dari undang-undang dalam arti materiil yang bukan sekaligus merupakan undang-undang dalam arti formal adalah peraturan-peraturan umum dan pembentuk undang-undang yang lebih rendah.
  1. Pembentuk Undang-Undang Formal dan Para Pembentuk Undang-Undang yang Lebih Rendah
Di samping pembentuk undang-undang formal yaitu pemerintah bersama-sama DPR, terdapat pelbagai pembentuk undang-undang yang lebih rendah. Wewenang para pembentuk undang-undang yang Iebih rendah dapat ditentukan secara teritorial atau fungsional. Contoh dari pembentuk undang-undang teritorial yang Iebih rendah di Belanda ialah provinsi dan kota madya, sedangkan yang fungsional adalah pemerintah dan bedrijfschappen.
Wewenang dari pembentuk undang-undang yang lebih rendah untuk membuat undang-undang dalam arti materiil selalu berdasarkan undang-undang dalam arti formal, yang juga membatasi wewenang tersebut, misalnya, wewenang kota madya untuk membuat peraturan daerah ditetapkan dalarn undang-undang kota madya (gemeentewet). Menurut undang-undang ini peraturan kota madya hanya boleh mengatur rumah tangga kota madya sendiri dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dalam arti formal. Gemeentewet juga menetapkan pidana terberat yang boleh dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan kota madya, yaitu pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak lima ribu “gulden” (uang Belanda).
Wewenang dari pemerintah untuk membuat undang-undang dalam arti materiil harus berdasarkan undang-undang dalam arti formal. Sebagai Contoh, Undang-Undang Lalu Lintas Jalan (Wegenverkeerswet) menguasakan pembuatan peraturan daerah (algemene maatregel van bestuur) mengenai lalu lintas jalan dan mengancam pelanggarnya dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak lima ribu “gulden”.
Suatu undang-undang dalam arti materiil boleh melengkapi suatu peraturan dan undang-undang dalam arti formal, tetapi tidak boleh melanggarnya. Apabila suatu undang-undang dalam arti materiil melanggar undang-undang dalam arti formal, undang-undang dalam arti materiil tidak boleh diterapkan hakim.
  1. Arti Pasal 103 KUHP
Permasalahan umum mengenai hukum pidana diatur dalam undang-undang dalam arti formal. Sebagian besar diatur dalam Buku I KUHP. Pasal 103 KUHP melarang pembentuk undang-undang yang lebih rendah untuk memasuki wilayah ini. Misalnya, mengenai pidana dan tindakan. Pembentuk undang-undang yang lebih rendah tidak boleh menyimpang dan yang telah ditetapkan dalam Buku 1 KUHP.
Pembentuk undang-undang formal sendiri tidak terikat pada peraturan yang dia tetapkan dalam Buku I KUHP. Ia boleh membuat peraturan yang menyimpang dalam undang-undang yang tersendiri. Sebagai contoh, Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi; bandingkan Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 yang merupakan undang-undang dalam arti formal. Di dalamnya ditetapkan pidana dan tindakan yang khusus ditujukan terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak dikenal dalam KUHP.

C.   ARTI PASAL 1 KUHP
Pasal 1 KUHP menjelaskan kepada kita bahwa :
  • Suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Oleh karena itu, pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan.
  • Ketentuan pidana itu harus Iebih dahulu ada dari perbuatan itu. Dengan perkataan lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Oleh karena itu, ketentuan tersebut tidak berlaku surut, baik mengenai ketetapan dapat dipidana maupun sanksinya.
  • Pasal ayat (2) KUHP membuat pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan terdakwa.
Yang menjadi pertanyaan, apa yang dimaksud dengan “ketentuan pidana menurut undang-undang” dalam Pasal 1 KUHP itu, apakah undang-undang dalam arti formal, materiil, atau kedua-duanya?
Ada yang menganggap Pasal 1 ayat (1) KUHP sebagai ancang-ancang pengecualian dalam ayat (2). Kalau dipandang demikian, Pasal 1 KUHP hanya mensyaratkan adanya ketentuan pidana menurut undang-undang, tetapi tidak memuat syarat-syarat tentang bentuk atau isi dan interpretasi dan ketentuan-ketentuan pidana. Akan tetapi, menurut jiwanya Pasal 1 ayat (1) KUHP merupakan wujud yang jelas dari asas legalitas yang menjangkau lebih jauh dan yang terbaca dalam Pasal 1 KUHP. Dalam asas legalitas tampak jaminan dasar kepastian hukum, tumpuan dari hukum pidana dan hukum acara pidana.
Selanjutnya, asas legalitas dapat dijumpai dalam sumber-sumber hukum internasional, seperti :
  • Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 1948, Pasal 11 ayat
  • Perjanjian Eropa untuk Melindungi Hak Manusia dan Kebebasan Asasi 1950 (Perjanjian New York) Pasal 15 ayat (1).
Sesuai dengan jiwa Pasal 1 KUHP disyaratkan juga bahwa ketentuan undang-undang harus dirumuskan secermat mungkin, ini dinamakan asas lex certa. Undang-undang harus membatasi dengan tajam dan jelas wewenang pemerintah terhadap rakyat (lex certa: undang-undang yang dapat dipercayai).
Pengertian dasar Pasal 1 KUHP juga berkaitan dengan jiwa Pasal 3 KUHAP, yaitu hukum pidana harus diwujudkan dengan prosedur yang memadai dan dengan jaminan hukum.
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas memberikan sifat perlindungan pada undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Ini dinamakan fungsi melindungi dan undang-undang pidana. Di samping fungsi melindungi, undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan. Asas legalitas ada hubungannya dengan fungsi instrumental dan undang-undang pidana tersebut. Ini akan terlihat dalam paragraf berikutnya, yaitu dalam anti keharusan untuk menuntut, suatu paham yang diikuti oleh beberapa negara lain, tetapi tidak oleh Belanda.
Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833), sehubungan dengan kedua fungsi itu, merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa Latin, yaitu :
  • Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang.
  • Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
  • Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.
Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat, yaitu nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana, tanpa ketentuan undang-undang terlebih dahulu.
Sehubungan dengan hal tersebut, aturan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dinamakan aturan-nullum-crimen.
  1. Asas Legalitas atau Asas Oportunitas terhadap Penuntutan Pidana
Rumusan ketiga von Feuerbach berhubungan dengan fungsi instrumental undang-undang pidana dan merupakan pengungkapan ajaran “paksaan psikologis:. Undang-undang pidana diperlukan, demikian menurut von Feuerbach, untuk memaksa rakyat berbuat menurut hukum dengan mengancamkan pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum. Akan tetapi, agar ancaman pidana itu mempunyai efek, setiap pelanggar undang-undang harus sungguh-sungguh dipidana.
Pemerintah juga harus selalu menggunakan wewenang yang diberikan kepadanya untuk memidana. Di sini pun terdapat landasan syarat keadilan, yaitu asas persamaan. Adalah tidak adil dalam keadaan yang sama memidana pelanggar undang-undang yang satu, sedangkan yang lain tidak.
Dalam arti keharusan menuntut pidana, asas legalitas mempunyai banyak pengikut terutama di Jerman, di mana sejak akhir abad yang lalu titik tolak dari tindakan yustisial, yaitu setiap pelanggaran undang-undang harus dituntut, ini berlaku juga di Austria, Spanyol, dan Italia.
Sebaliknya, di Prancis, Belgia. dan terutama di Belanda, diikuti asas oportunitas yang menentukan bahwa pemerintah berwenang, tetapi tidak berkewajiban menurut undang-undang untuk menuntut semua perbuatan pidana. Oleh karena itu, alasan oportunitas penuntutan dapat juga diabaikan.
Tidak dapat dikatakan bahwa karena metode yang telah dipilih, yaitu menempatkan hukum pidana dalam undang-undang, cita-cita keadilan telah tercapai secara sempurna. Di sana-sini terdapat banyak kekurangan. Metode itu ternyata tidak sempurna dan akan kita lihat di bawah ini.
Dalam penerapan akan tampak perbedaan kedua fungsi tersebut. Demi Kepentingan fungsi instrumental. undang-undang pidana kadang-kadang mengurangi fungsi melindungi. Syarat-syarat perlindungan hukum terhadap rakyat tidak boleh mengikat pemerintah sedemikian rupa sehingga menghalangi perjalanan tugas penuntutan pidana yang efektif. Dalam hal ini, harus ada pertimbangan kepentingan karena kita berada di lapangan politik kriminal. Lagi pula, struktur sosial ekonomi masyarakat sekarang ini sudah berbeda dengan struktur sosial ekonomi pada waktu asas legalitas diperkenankan sebagai reaksi terhadap ketidakpastian hukum dan kesewenang-wenangan dalam abad ke-18. Oleh karena itu, kepentingan-kepentingan tersebut menjadi jauh lebih kompleks.
Kedua fungsi asas legalitas adalah sebagai berikut :
a.    Instrumental, tidak ada perbuatan pidana yang tidak dituntut.
b.    Melindungi, tidak ada pemidanaan kecuali atas dasar undang-undang.


  1. Berbagai Aspek Asas Legalitas
Ada tujuh aspek asas legalitas yang dapat dibedakan, yaitu :
a.    Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang.
b.    Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi.
c.    Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.
d.    Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa).
e.    Tidak ada kekuatan surut dan undang-undang pidana.
f.     Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang.
g.    Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.
Berikut ini akan diuraikan satu per satu mengenai ketujuh aspek di atas.
a.    Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang
Pasai 1 KUHP menetapkan bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana menurut undang-undang yang telah ada sebelumnya. Penentuan dapat dipidana harus terjadi melalui undang-undang dalam arti formal atau berdasarkan kekuatan undang-undang dalam arti formal, yang berarti undang-undang dalam arti materiil yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang lebih rendah yang dikuasakan oleh undang-undang dalam arti formal untuk berbuat demikian. Suatu ketentuan pidana yang tidak memenuhi syarat itu tidak mengikat sehingga hakim tidak boleh menerapkannya. Suatu penentuan dapat dipidana oleh kota madya yang tidak mengenai rumah tangganya sendiri atau penentuan demikian dapat dipidana oleh pemerintah daerah yang tidak berlandaskan undang-undang dalam arti formal, misalnya, tidak mengikat.
b.    Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi
Penerapan undang-undang berdasarkan analog) berarti penerapan suatu ketentuan atas suatu kasus yang tidak termasuk di dalamnya. Penerapan berdasarkan analog) dan ketentuan pidana atas kejadian-kejadian yang tidak diragukan patut dipidana, tetapi tidak termasuk undang-undang pidana memang pernah dilakukan.
Selama masa pendudukan Jerman (di Belanda), hal itu untuk beberapa tahun diterapkan menurut undang-undang dengan mengikuti contoh di Jerman, di mana rezim Nazi menggunakan gesundes Volksempfinden sebagai kriterium. Pada tahun 1945 hal itu segera diakhiri.
Fungsi melindungi dari undang-undang pidana dan penerapan berdasarkan analogi tidak mungkin digabungkan. Tidak percuma para penyusun KUHP Belanda bersusah payah merumuskan ketentuan-ketentuan itu secermat mungkin. Kalau dalam KUHP diatur perbuatan-perbuatan yang sudah lazim dimengerti sebagai perbuatan tercela, fungsi perlindungan Iebih besar lagi artinya untuk perundang-undangan khusus dan yang lebih rendah, di mana perbuatan-perbuatan yang secara moril tidak tercela tetapkan sebagai hal yang dapat dipidana.
1)   Cara-cara penafsiran hakim
Terutama dalam kasus batas, sering kali sangat sulit untuk mengetahui apakah suatu kasus tertentu termasuk atau tidak termasuk dalam ketentuan pidana. Dengan demikian, hakim wajib menetapkan arti yang tepat dari ketentuan pidana tersebut. Dia harus menafsirkan dan menjabarkan ketentuan itu.
Metode-metode penafsiran yang lazim digunakan oleh hakim untuk mendapatkan pemecahan yang adil, adalah sebagai berikut :
a)    Metode penafsiran gramatikal
Hakim di sini memerhatikan arti ketentuan menurut tata bahasa. Contoh, HR 12-11-1900 (Putusan Kuda Pemacak ”Frans”). Peraturan Provinsi Friesland tentang Pemeriksaan Kuda Pemacak melarang ‘menggunakan pemacakan dan secara terbuka menawarkan pemacakan kuda yang tidak diperiksa. Seseorang telah menggunakan seekor kuda jantan untuk pemacakan, tetapi tidak menawarkan pemacakan. Penuntut umum menganggap perbuatan itu merupakan perbuatan pidana menurut maksud peraturan provinsi. Akan tetapi, terdakwa dianggap tidak dapat dipidana, demikian menurut Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda), karena “maksud dari undang-undang tidak mungkin berlawanan dengan perkataan yang digunakan oleh pembentuk undang-undang”.
b)    Metode penafsiran menurut sejarah undang-undang
Di sini arti ketentuan ditetapkan berdasarkan laporan, perjanjian, nota, diskusi, sidang, dan sebagainya yang berperan dalam perumusan ketentuan tersebut. Contoh: HR 28-11-1961 (Putusan Tembakau). Oleh Undang-Undang Tembakau di Belanda, dilarang memberiikan, baik hadiah, tambahan, maupun kupon pada penjualan hasil tembakau. Suatu perkumpulan koperasi memberikan kepada para anggotanya “dividen konsumen” sebesar 4% dengan menukarkan bon-bon kasa (di antaranya terdapat bon penjualan hasil tembakau). Dari penjelasan Menteri Keuangan ketika Undang-Undang Tembakau dibuat, tidak dapat ditarik kesimpulan oleh Hoge Raad bahwa larangan undang-undang tersebut meliputi pemberian dividen untuk konsumen oleh perkumpulan koperasi kepada para anggotanya.
c)    Metode penafsiran sistematis
Di sini arti ketentuan ditetapkan berdasarkan hubungan ketentuan itu dengan ketentuan-ketentuan yang lain, jadi berdasarkan sistem undang-undang. Contoh: HR 24-5-1897 (Putusan Abortus). Pasal 346 KUHP menetapkan bahwa dapat dipidana orang yang menyebabkan keguguran janin. Ketentuan ini terdapat dalam Bab XIX, Buku II KUHP tentang kejahatan terhadap nyawa. Oleh karena itu, Hoge Raad menyimpulkan bahwa menyebabkan keguguran hanya termasuk ketentuan pidana kalau janin itu hidup.
d)    Metode penafsiran teleologis
Di sini arti ketentuan ditetapkan berdasarkan tujuannya. Contoh: HR 2-2-1971 (Putusan Penyerobotan Rumah Kosong di Nijmegen). Mengenal hal ini, dipertanyakan apakah menurut Pasal 167 KUHP mengganggu ketenteraman rumah tangga meliputi rumah yang kosong. Hoge Raad menetapkan bahwa sejauh mengenal rumah, khususnya ingin melindungi hak mendiami rumah dan kata “dipakai hanya dapat diartikan dipakai sebagai rumah tinggal”, jadi tidak meliputi rumah yang kosong.
Selain itu, yang dapat dipandang sebagai suatu jenis penafsiran teleologis adalah metode penafsiran fungsional. Dalam hal ini, yang diperhatikan adalah fungsi sosial yang pelaksanaannya diatur oleh undang-undang, misalnya, ketentuan tentang pembangunan rumah tanpa izin berlaku, baik bagi yang menyuruh untuk membangun (bouwheer,), arsitek, maupun pemborongnya meskipun ketiga-tiganya tidak ada yang mengerjakannya sendiri. Contoh: HR 11-5-1982 (Giraalgeld Arrest). Karena kekeliruan bank (pada tahun 1978 di Belanda), seorang wanita muda telah menerima uang sebanyak sepuluh juta rupiah pada rekening bankrya, yang sebenarnya kepunyaan suatu perusahaan industri. Uang tersebut diambilnya dari bank dan dipergunakan sampai habis untuk berlibur. Sesudah itu, wanita tersebut dituntut karena penggelapan (Pasal 372 KUHP). Menurut pengacaranya, kredit bank bukan merupakan barang, melainkan tagihan sesuai dengan HR, yaitu dilihat dari sudut fungsinya dalam masyarakat. Di samping itu, kredit bank pun merupakan barang yang dapat dimiliki.
2)   Penafsiran restriktif atau ekstensif
Melihat hasilnya, cara penafsiran yang dipilih oleh hakim untuk menafsirkan suatu ketentuan dapat dinamakan restriktif atau ekstensif jika ketentuan itu ditafsirkan secara lebih sempit atau lebih luas daripada jika ditafsirkan menurut tata bahasa. Yang menjadi pertanyaan, menurut pendapat Anda, apakah Putusan Abortus dan Putusan. Penyerobotan Rumah Kosong di Nijmegen merupakan contoh penafsiran restriktif atau ekstensif?
Dalam beberapa kejadian, hakim menafsirkan suatu ketentuan sedemikian ekstensif sehingga dapat dipertanyakan, apakah di sini asas legalitas tidak dirusak oleh penerapan undang-undang berdasarkan analogi terselubung? Contoh: HR 23-5-1921 (Putusan Aliran Listrik). Perkara ini mengenai penggunaan aliran listrik tidak melalui meteran pengontrol, yaitu dengan cara menghentikan meteran tersebut dengan menusukkan sebuah paku setiap setelah dikontrol petugas pemeriksa. Yang menjadi pertanyaan waktu itu, apakah tenaga listrik merupakan barang yang dapat diambil dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum dalam arti Pasal 362 KUHP?
Jaksa Agung (Muda) pada Hoge Raad tidak berpendapat demikian Menurut beliau, pencurian hanya dapat dilakukan terhadap barang-barang berwujud. Karena perbuatan yang telah dilakukan juga tidak dipidana menurut undang-undang lainnya, hanya dapat dikatakan bahwa di sini terdapat kekosongan dalam perundang-undangan Pasal 362 KUHP tidak boleh dipaksakan supaya berlaku untuk perbuatan tersebut. Hal demikian, katanya, dilarang oleh Pasal 1 KUHP.
Hoge Raad tidak sependapat dan beranggapan bahwa Pasal 362 KUHP dapat diterapkan sebab pasal ini bermaksud untuk melindungi harta benda orang lain sehingga menyatakan dapat dipidana mengambil barang (dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum) tanpa penjelasan Iebih lanjut mengenai apa arti “barang” itu.
Jika suatu perbuatan tidak memenuhi perumusan delik menurut undang-undang, penafsiran ekstensif mengartikan perumusan tersebut sedemikian luas sehingga perumusan delik dalam kasus ini terpenuhi juga.
Dengan penerapan berdasarkan analogi sebaliknya juga dijatuhkan pidana apabila perbuatan tersebut tidak memenuhi suatu perumusan delik terhukum tentu, tetap mirip dengan perbuatan-perbuatan lain yang memang memenuhi perumusan itu.
c.    Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan
Pemidanaan harus dilaksanakan berdasarkan undang-undang menurut Pasal 1 KUHP. Jadi, pelanggaran atas kaidah kebiasaan dengan sendirinya belum menghasilkan perbuatan pidana. Itu tidak berarti bahwa kaidah-kaidah kebiasaan tidak berperan dalam hukum pidana, adakalanya undang-undang pidana secara implisit atau eksplisit menunjuk ke situ.
Penunjukan secara implisit pada kebiasaan terdapat pada norma yang samar-samar, seperti dalam Pasal 282 KUHP: “melanggar kesusilaan”. Bandingkan Pasal 2 Undang-Undang Lalu Lintas Jalan: yang mengganggu keamanan lalu lintas” dengan beberapa delik omisi di mana tidak berbuat dapat dipidana.
Contoh Pasal 302 KUHP (tidak memberikan makanan yang diperlukan) dan dalam Pasal 304 KUHP (membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara). Kedua contoh tersebut merupakan perbuatan-perbuatan yang disengaja, juga merupakan perbuatan pidana yang timbul karena kekurangcermatan atau kelalaian. Ini dinamakan delik-delik kulpa dan di sini pun terdapat contoh-contoh penunjukan secara implisit ke kebiasaan dan penadahan karena kealpaan. KUHP menyatukan ini dalam Pasal 480 dengan penadahan karena kesengajaan. Jika seseorang menjajakan alat-alat rumah tangga (hasil curian) dari rumah ke rumah, pembelinya bisa mengira berhubungan dengan pedagang jujur. Lain halnya jika yang ditawarkan itu perhiasan mahal.
d.    Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas
Syarat lex certa berarti undang-undang harus cukup jelas sehingga :
1)    Merupakan pegangan bagi warga masyarakat dalam memilih tingkah lakunya dan
2)    Untuk memberikan kepastian kepada penguasa mengenai batas-batas kewenangannya.
Namun, tidak mungkin untuk merumuskan semua kelakuan yang patut dipidana secara cermat dalam undang-undang. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang untuk kelakuan dari peserta-peserta laIulintas masyarakat, juga ditentukan berdasarkan kebiasaan yang berlaku di situ.
e.    Ketentuan pidana tidak berlaku surut
Pasal 1 ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa :
Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada sebelumnya”.
Pasal 1 ayat (2) KUHP memberikan kekecualian atas ketentuan itu :
“Jika sesudah dilakukannya perbuatan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai peraturan yang paling ringan bagi terdakwa.”
Jadi, perubahan undang-undang untuk kepentingan terdakwa yang terjadi setelah perbuatan dilakukan yang diberikan kekuatan surut. Peraturan ini berlaku untuk seluruh proses perkara. Dengan perkataan lain, jika dalam waktu antara putusan tingkat pertama (oleh hakim pengadilan negeri) dan tingkat banding atau antara tingkat banding dan kasasi terjadi perubahan undang-undang untuk kepentingan terdakwa, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung harus menerapkan Pasal 1 ayat (2) KUHP.
Menurut Ketetapan Krisis Garapan Ladang di Belanda, yang dibuat berdasarkan Undang-Undang Krisis Pertanian, seseorang dilarang mengangkut kentang tanpa surat pengantar. Telah dibuat berita acara terhadap seseorang yang mengangkut kentang tanpa surat pengantar. Sebelum dia diadili, syarat untuk membawa surat pengantar dihapuskan.
Sebagai kriterium untuk menentukan apakah hal tersebut merupakan perubahan undang-undang dalam anti Pasal 1 ayat (2) KUHP, Hoge Raad bertanya, apakah ada “perubahan pandangan pembentuk undang-undang mengenai patut dipidananya perbuatan yang telah dilakukan”? Dalam hal ini, diputuskan tidak karena peraturan yang bersangkutan bersifat Sementara.
Kriterium ini memberikan pegangan pada gejala yang disebut pendelegasian perundang-undangan di bidan sosial ekonomi. Dengan demikian, jelaslah bahwa perubahan harga bensin, misalnya, bukan perubahan perundang-undangan dalam arti Pasal 1 ayat(2) KUHP.
lngat! Larangan kekuatan surut hanya berlaku untuk ketentuan pidana, bukan untuk peraturan yurisdiksi, misalnya, yang berhubungan dengan wewenang pembentuk undang-undang nasional lainnya (untuk hukum pidana lihat Pasal 2 - Pasal 9 KUHP dan peraturan mengenal daluwarsa Pasal 78 - Pasal 80 KUHP).
Pelanggaran terhadap larangan kekuatan surut dilakukan oleh pembentuk undang-undang Belanda untuk memidana penjahat-penjahat perang setelah Perang Dunia II. Hal ini mencontoh Piagam Pengadilan Militer Internasional di Neurenberg (Jerman). Sehubungan dengan Ketetapan Hukum Pidana Luar Biasa (BBS-”Besluit Buitengewoon Strafrecht” 1943), Pasal 1 Sr di Belanda dinyatakan tidak berlaku dan perbuatan-perbuatan tercela yang dilakukan selama perang dinyatakan dapat dipidana dengan kekuatan surut. Keadaan ini pada umumnya dibela dengan dalih bahwa perbuatan-perbuatan tersebut waktu itu oleh setiap orang juga tanpa undang-undang dapat dimengerti sebagai perbuatan yang tidak diperbolehkan dan merupakan kejahatan. Sekarang kejadian-kejadian demikian dikecualikan dan asas legalitas, seperti yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) Perjanjian Roma dan Pasal 15 ayat (2) Perjanjian New York.
Pada tahun 1971 sifat daluwarsa dihapuskan untuk kejahatan-kejahatan perang yang paling berat. Akan tetapi, sebagaimana telah kita ketahui bahwa hal ini bukan merupakan pelanggaran terhadap larangan kekuatan surut.
f.     Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang
“Undang-undang menentukan pidana-pidana yang dijatuhkan,” demikian bunyi Pasal 89 ayat (2) kalimat kedua UUD Belanda. Yang dimaksud dengan undang-undang di sini adalah undang-undang dalam arti formal.
Pembentuk undang-undang yang lebih rendah dapat membuat peraturan pidana selama diizinkan oleh pembentuk undang-undang formal, tetapi tidak boleh menciptakan pidana lain selain yang ditentukan oleh undang-undang dalam arti formal.
Hakim pun tidak boleh menjatuhkan pidana lain selain dan yang telah ditentukan oleh undang-undang. Meskipun demikian, Pasal 14a KUHP memberikan wewenang kepada hakim untuk menetapkan syarat khusus pada pidana bersyarat berupa kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi terpidana. Akan tetapi, hal ini ada batas-batasnya. Telah dilakukan percobaan menurut contoh di Inggris untuk menciptakan jenis pidana baru, yaitu “pidana kerja sosial” yang terdiri atas melakukan pekerjaan yang berguna untuk masyarakat selama waktu tertentu.


g.    Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang
Telah diketahui bahwa Pasal 1 Sv (KUHAP Belanda), berbeda dengan Pasal 1 Sr (KUHP Belanda) yang tidak memberikan kemungkinan pendelegasian wewenang untuk membuat peraturan acara pidana kepada pembentuk undang-undang yang lebih rendah. Pembentuk undang-undang yang lebih rendah dapat membuat peraturan pidana (dalam batas-batas yang ditentukan undang-undang dalam arti formal), tetapi tidak dapat membuat peraturan acara pidana.
Hal ini menimbulkan perbedaan yang lain, yaitu mengenai apa yang dapat dipidana dan apa yang tidak dapat dipidana. Mengenai hal ini mungkin ada perbedaan-perbedaan teritorial. Sesuatu yang dilarang di suatu daerah berdasarkan peraturan daerah itu, di daerah lain yang berdekatan, mungkin tidak demikian. Akan tetapi, bertalian dengan peraturan acara pidana para pembentuk undang-undang lokal tidak memiliki kewenangan.
Dengan demikian, peraturan acara pidana sama di seluruh negara. Ingat! Larangan membuat peraturan acara pidana berlaku untuk pembentuk undang-undang yang lebih rendah, tidak untuk pembentuk undang-undang dalam arti formal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar