A. Istilah Hukum Pidana
Istilah
hukum pidana merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda Strafrecht. Straf
berarti pidana, dan recht berarti hukum.
Menurut
Dr. WIRJONO PRODJODIKORO, S.H. bahwa istilah hukum pidana itu dipergunakan
sejak pendudukan Jepang di Indonesia untuk pengertian strafrecht dari bahasa
Belanda, dan untuk membedakannya dari istilah hukum perdata untuk pengertian
burgerlijkrecht atau privatrecht dari bahasa Belanda (Wirjono,1969:1)
B. Pengertian Hukum Pidana
Bermacam-macam
pengertian hukum pidana yang dikemukakan oleh para sarjana hukum. Di bawah ini
akan dikemukakan pengertian hukum pidana yang dikemukakan oleh para sarjana
hukum pidana Indonesia terkenal yaitu :
1.
SOEDARTO
SOEDARTO mengartikan bahwa hukum pidana memuat
aturan-aturan hukum yang mengikatkan: kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi
syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.
Selanjutnya SOEDARTO menyatakan bahwa sejalan dengan ini,
maka KUHP memuat dua hal yang pokok, yaitu :
1)
Memuat pelukisan dari perbuatan-perbuatan orang yang
diancam pidana, artinya memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang
memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Jadi disini seolah-olah negara
menyatakan kepada umum dan juga para penegak hukum perbuatan-perbuatan apa yang
dilarang dan siapa yang dapat dipidana.
2)
KUHP menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan
diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu.
Dalam hukum pidana modern reaksi ini tidak hanya berupa
pidana, tetapi juga apa yang disebut dengan tindakan, yang bertujuan untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya (Soedarto,
1977:100-101).
2.
SATOCHID KARTANEGARA
Dalam kuliahnya SATOCHID mengartikan bahwa hukum pidana
adalah sejumlah peraturan yang merupaka bagian dari hukum positif yang
mengandung larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang ditentukan oleh
negara atau kekuasaan lain yang berwenang untuk menentukan peraturan-peraturan
pidana, larangan atau keharusan itu disertai ancaman pidana, dan apabila hal
ini dilanggar timbullah hak negara untuk melakukan tuntutan, menjatuhka pidana,
melaksankan pidana (Lihat E.Y. Kanter dan S.R Sianturi, 1982:15).
3.
MOELJATNO
MOELJATNO
mengartikan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar adan aturan-aturan untuk :
Menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang
melanggar larangan tersebut.
Menentukan
kapan dan daklam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atai dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancamkan.
1)
Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat sdilaksanakan apabila ada orang yang
disangka telah melanggar larangan-larangan tersebut (Moeljatno,1978:1).
Selanjutnya
MOELJATNO menjelaskan bahwa dari pengertian hukum pidana tersebut di atas maka
yang disebut dalam ke 1) adalah mengenai “perbuatan pidana” (criminal act).
Sedang yang disebut dalam ke 2) adalah mengenai “pertanggungjawaban hukum
pidana” (criminal liability atau criminal responbility). Yang disebut dalam ke
1 dan ke 2) merupakan “hukum pidana materil” (substantive criminal law), oleh
karena mengenai isi hukum pidana sendiri. Yang disebut dalam ke 3) adalah
mengenai bagaimana caranya atau prosedurnya untuk menuntut ke muka pengadilan
orang-orang yang disangka melakukan perbuatan pidana, oleh karena itu bagian
ke-3) ini dinamakan “hukum pidana formil” atau “hukum acara pidana” (criminal
procedure). Lazimnya yang disebut dengan hukum pidana saja adalah hukum pidana
materil (Moeljatno, 1978:4).
Apabila
kita telah pengertian-pengertian hukum pidana tersebut di atas, maka dapat
dikatakan bahwa pengertian dari SOEDARTO merupakan pengertian yang sempit, oleh
karena pengertian itu merupakan pengertian hukum pidana materil saja. Akan
tetapi hukum pidana itu bukan hanya terdiri dari hukum pidana materil, selain
daripada itu dikenal pula apa yang disebut
dengan hukum pidana formil atau hukum acara pidana.
Pengertian
hukum pidana dari SATOCHID dapat dikatakan merupakan pengertian yang luas, oleh
karena pengertiannya itu meliputi hukum pidana materil dan hukum pidana formil.
Akan tetapi dalam pengertiannya itu terdapat pemberian aksen kepada negara,
yaitu bahwa negaralah yang menentukan larangan-larangan dan keharusan-keharusan
itu, sehingga hukum pidana adat, yaitu hukum pidana yang tidak ditentukan oleh
negara tidak mendapat tempat dalam pengertian hukum pidana ini. Sedangkan
pidana adat itu tetap berlaku di beberapa daerah di Indonesia (Lihat pasal 5
ayat (3) b UU. No Drt 1951).
Pengertian
hukum pidana dari MOELJATNO dapat dikatakan merupakan pengertian yang luas dan
lengkap. Hal ini disebabkan oleh karena selain meliputi hukum pidana materil
dan hukum pidana formil atau hukum acara pidana juga dalam pengertiannya itu
sama sekali tidak dinyatakan siapa yang menentukan hukum pidana itu, melainkan
hanya dikatakan “......... hukum yang berlaku di suatu negara.....” sehingga
dari pengertian hukum pidana menurut MOELJATNO itu dapat disimpulkan bahwa
hukum pidana adat pun mendapat tempat di dalammnya.
Dalam
KUHP Nasional yang akan datang tentang berlakunya hukum pidana adat itu secara
tegas ditentukan dalam pasal 1 ayat (4) Rancangan KUHP Buku I yang disusun oleh
Tim Pengkajian Hukum Pidana Tahun 1987/1988, yang berbunyi; “ketentuan dalam
ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang menentukan bahwa menurut adat
setempat suatu perbuatan patut dipidana dan perbuatan itu tidak ada persamaan dalam
peraturan perundang-undangan ini”.
C. Pembagian Hukum Pidana
Menurut
ilmu hukum pidana bahwa hukum pidana itu dapat dibedakan dalam beberapa bagian.
Dibawah
ini akan dikemukakan beberapa pembagian hukum pidana :
1.
Hukum Pidana objektif dan Hukum Pidana Subjektif
Hukum pidana objektif (jus poenale) adalah seluruh
pengaturan yang memuat larangan-larangan atau keharusan-keharusan, terhadap
pelanggar peraturan itu diancam dengan pidana. Jadi hukum pidana objektif itu
memuat perumusan tindak pidana serta ancaman pidananya.
Hukum
pidana subjektif (jus poenandi) adalah seluruh peraturan yang memuat hak negara
untuk memidana seseorang yang melakukan perbuatan terlarang (tindak pidana).
Hak negara untuk memidana itu terdiri dari :
1)
Hak untuk mengancam perbuatan dengan pidana. Hak ini
terletak pada negara, misalnya ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 362
KUHP, pencurian diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 900,00.
2)
Hak untuk menjatuhkan pidana. Hak ini terletak pada alat
negara yang berwenang, yaitu hakim.
3)
Hak untuk melaksanakan pidana. Hak ini juga terletak pada
alat negara yang berwenang, yaitu jaksa.
Pada
hakekatnya hukum pidana subjektif (hak negara untuk memidana) itu berdasarkan hukum pidana objektif, oleh
karena hak negara untuk memidana itu baru ada, setelah dalam hukum pidana
objektif ditentukan perbuatan-perbuatan yang diancam pidana.
2.
Hukum Pidana materiel dan hukum pidana Formel
Menururt ilmu hukum pidana bahwa hukum pidana objektif
itu dapat dibagi dalam hukum pidana materiel dan formel.
Hukum pidana materiel (hukum pidana substansif) adalah
seluruh yang memuat perumusan :
1)
Perbuatan-perbuatan apakah yang dapat diancam pidana.
Misalnya : pasal 338 KUHP ---- pembunuhan, pasal 351 KUHP penganiayaan, pasal
362 ---- pencurian.
2)
Siapakah yang dapat dipidana, atau dengan perkataan lain
mengatur pertanggungjawaban terhadap hukum pidana.
3)
Pidana apakah yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang
yang melakukan tindak pidana, atau disebut juga dengan hukum penitensier (Lihat
Satochid:1).
Hukum
pidana materiel dimuat dalam KUHP dan dalam peraturan perundang-undangan hukum
pidana lainnya di luar KUHP, seperti dalam : Stbl 1934 --- 167 jo UU No.
39/1947-KUHPM (kita undang-undang Hukum Pidana Militer) ; UU No. 7 Drt 1955 ---
undang-undang Tindak Pidana Ekonomi; UU No. 11 Pnps 1963 --- Pemberantasan Kegiatan Subvensi; UU No. 3/1971
--- Undang-undang Tindak Pidana korupsi; UU No. 9/1976 --- Narkotika dab
sebagainya
Hukum
pidana formel (hukum pidana ajketif) dimuat dalam UU No.8/1981 --- KUHAP dan
dalam peraturan perundang-undangan dengan hukum acara pidana lainnya diluar
KUHAP, seperti dalam : UU No. 13/1961 --- Undang-undang Pokok Kepolisian; UU
No. 14/1970 --- Undang-undang kekuasaan kehakiman. Juga secara khusus dimuat
dalam : UU No. 7 Drt/1955; UU No. 11 Pnps/1963; Undang-undang No 3/1971; UU No.
9/1976, dan lain-lain. Dengan demikian dalam ketentuan-ketentuan hukum pidana
khusus ini, selain dimuat hukum materiel juga sekaligus dimuat hukum pidana
formel.
3.
Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
Hukum pidana umum (algemeen strafrecht --- jus commune)
adalah hukum pidana yang berlaku umum atau yang berlaku bagi semua orang. Hukum
pidana umum dimuat dalam KUHP.
Hukum pidana khusus (bijzonder strafrecht --- jus
speciale) adalah hukum pidana yag berlaku khusus bagi golongan orang-orang
tertentu (anggota ABRI dan yang disamakan dengan anggota ABRI) atau yang memuat
perkara-perkara pidana tertentu (seperti : tindak pidana ekonomi, tindak pidana
subversi, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, dan lain-lain).
Hukum pidana khusus jelas dimuat dalam peraturan
perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP.
Hubungan
hukum pidana umum dengan hukum pidana khusus adalah ketentuan hukum pidana umum
itu tetap berlaku di samping ketentuan hukum pidana khusus sebagai hukum
pelengkap.
Ketentuan
hukum pidana khusus dapat menyimpang dari ketentuan hukum pidana umum. Dalam
hal penyimpangan ini, maka yang dipakai adalah ketentuan hukum pidana khusus.
Hal ini merupakan penjelmaan dari suatu adagium klasik yang dirumuskan dalam
bahasa latin, yang berbunyi: lex specialist derogat lex generalis (ketentuan
hukum khusus mengenyampingkan ketentuan hukum umum). Dasar hukum penyimpangan
itu adalah pasal 103 KUHP, yang berbunyi : “ketentuan-ketentuan dalam Bab I
sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh
ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh
undang-undang ditentukan lain” (Tim Penerjamah BPHN, 1983:50).
Artinya
bahwa tindak pidana yang terdapat dalam peraturan-perturan perundang-undangan hukum
pidana di luar KUHP “tunduk” pada aturan umum dalam buku I KUHP, kecuali kalau
diatur secara khusus.
Di
bawah ini akan dikemukakan beberapa contoh :
1)
KUHP berlaku umum, oleh karena itu berlaku juga bagi
anggota militer di samping KUHPM. KUHPM itu dimaksudkan untuk menambah KUHP,
oleh sebab ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP dianggap kurang cukup
keras bagi anggota militer terhadap beberapa perbuatan tertentu. Selain daripada
itu ada perbuatan-perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh anggota militer
saja, misalnya : insubordinasi, desersi, dan lain sebagainya yang tidak diatur
dalam KUHP (Anang Djajaprawira, 1969:49).
2)
Sanksi pidana dalam KUHP dianut sistem “alternatif” ,
artinya jika ada beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu
ketentuan hukum pidana, maka hakim harus memilih salah satu di antaranya. Untuk
mengetahui bahwa sanksi pidana itu bersistem alternatif adalah dari perkataan
“atau” diantara beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu tentang
ketentuan hukum pidana, misalnya : pasal 340 KUHP --- pembunuhan dengan rencana
(moord) ancaman pidananya adalah pidana mati “atau” pidana penjara seumur hidup
“atau” pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.
Lain
halnya dalam hukum pidana khusus pada umumnya sanksi pidana yang dianut adalaah
sistem “kumulatif” (seperti dalam : UU No. 9/1976 --- Tindak Pidana Narkotika) dan sistem
“kumulatif alternatif” (seperti dalam : UU No. 7 Drt/ 1955 --- Tindak Pidana
Ekonomi, UU No. 11 Pnps/1963 --- Tindak pidana subversi, UU No. 3/1971 ---
Tindak Pidana korupsi). Sistem kumulatif artinya jika ada beberapa jenis pidana
pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, maka hakim harus
menjatuhkan keseluruhannya. Untuk mengetahui bahwa sanksi pidana itu bersistem
kumulatif adalah dari perkataan “dan” di antara beberapa jenis pidana pokok
yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana, misalnya : pasal 36 ayat
(1) UU No. 9/1976 ancaman pidananya adalah pidana penjara selama-lamanya enam
tahun “dan” denda setinggi-tingginya Rp 10.000.000,00.
Sistem kumulatif
alternatif artinya jika ada beberapa jenis pidana pokok yang diancamkan dalam
suatu ketentuan hukum pidana, maka hakim dapat menjatuhkan keseluruhannya atau
dapat pula memilih salah satu diantaranya. Untuk mengetahui bahwa sanksi pidana
itu bersistem kumulatif alternatif adalah dari perkataan “dan atau” di antara
jenis pidana pokok yang diancamkan dalam suatu ketentuan hukum pidana misalnya
: Pasal 28 UU No. 3/1971 ancaman pidananya adalah hukuman penjara seumur hidup
atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun “dan atau” denda setinggi-tingginya
Rp 30.000.000,00
3)
Menurut KUHP percobaan melakukan pelanggaran tidak dapat
dipidana (pasal 54 KUHP), demikian juga pembantuan melakukan pelanggaran tidak
dapat dipidana (pasal 60 KUHP). Akan tetapi pembantuan dan percobaan melakukan
pelanggaran tindak pidana ekonomi dapat dipidana (pasal 4 UU No. 7 Drt/1955).
4.
Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Lokal
Kadangkala orang membuat perbedaan antara hukum pidana
umum dan hukum pidana lokal.
Hukum pidana umum, disebut juga dengan hukum pidana
nasional adalah hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah pusat dan yang berlaku
pada seluruh wilayah negara.
Hukum pidana lokal bukanlah hukum pidana khusus, meskipun
dihadapkan dengan masalah-masalah yang khusus bagi daerah. Hal ini disebabkan
hukum pidana lokal itu tidak mengandung asas-asas pidana yang menyimpang dari
asas-asas pidana umum. Tidak adanya penyimpangan tersebut, oleh karena pembuat
hukum pidana lokal terikat oleh ketentuan pasal 103 KUHP yang tidak menyebutkan
peraturan daerah sebagai suatu peraturan yang dapat mengandung perkecualian
terhadap “aturan kedelapan bab dalam Buku I KUHP. Sesuai dengan apa yang
tercantum dalam pasal 103 KUHP tersebut, maka pada umumnya hukum pidana lokal
memuat sanksi-sanksi atas pelanggaran dan tidak bersifat kejahatan (Utrecht,
1958 : 77 – 78).
Kalau hukum pidana umum dimuat dalam KUHP, maka hukum
pidana lokal dimuat dalam peraturan-peraturan daerah (disingkat “perda”)
tingkat I atau II.
5.
Hukum Pidana yang Dikodifikasikan dan Hukum Pidana yang
Tidak Dikodifikasikan
Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodifceerd) adalah
hukum pidana yang telah dikumpulkan dan dibukukan (dikitabkan), seperti : KUHP
dan KUHPM.
Hukum
pidana yang tidak dikodifikasikan (niet gecodifceerd) adalah hukum pidana yang
tidak dikumpulkan, melainkan tersebar dalam undang-undang atau
peraturan-pertauran yang bersifat khusus.
6.
Hukum Pidana Bagian Umum dan Hukum Pidana bagian Khusus
Hukum
pidana bagian umum (algemene deel) adalah hukum pidana yang memuat asas-asas
umum (algemene leerstukken) dan dimuat dalam Buku I KUHP.
Hukum
pidana bagian Khusus (bijzonder deel) adalah hukum pidana yang memuat masalah-masalah
kejahatan-kejahatan dan pelanggaraan, baik yang dikodifikasikan maupun yang
tidak dikodifikasikan (Lihat Lamintang, 1984:11).
D. Sumber Hukum Pidana
Dalam
ilmu hukum dikenal beberapa sumber hukum, yaitu :
1.
Undang-undang
2.
Kebiasaan dan adat
3.
Perjanjian antar negara
4.
Persetujuan
5.
Yurisprudensi
6.
Doktrin
7.
Proklamasi kemerdekaan
8.
Revolusi
9.
Coup de’etat yang berhasil
10.
Takluknya suatu negara kepada negara lain
Sumber-sumber
hukum butir 1), butir 2), butir 3) adalah sumber-sumber hukum yang langsung.
Sedangkan sumber-sumber hukum butir 4), butir 5), dan butir 6) adalah
sumber-sumber hukum tidak langsung, artinya hal-hal itu menjadi sumber hukum
karena atas pengakuan undang-undang atau karena dengan melalui kebiasaan.
ACHMAD
SANUSI, menamakan sumber-sumber hukum butir 1) sampai dengan butir 6) itu
sebagai sumber-sumber yang normal. Sedangkan sumber-sumber hukum butir 7)
sampai dengan butir 10) dinamakannya sebagai sumber-sumber yang abnormal
(Sanusi, 1977 : 34)
Di
indonesia sumber hukum pidana materiel terdapat dalam KUHP dan dalam peraturan
perundang-undangan hukum pidana lainnya di luar KUHP, juga memori penjelasan
(memorie van Toelichting, yang disingkat M.v.T) selain dari itu masih
dimungkinkan pula sumber dari hukum adat yang masih hidup sebagai delik adat
dengan pembatasan tertentu menurut pasal 5 ayat (3) b UU No. 1 Drt 1951. dan
sumber hukum pidana formel atau hukum acara pidana terdapat dalam KUHAP --- UU
RI No. 8/1981 dan dalam peraturan perundang-undangan hukum acara pidana.
E. Determinisme dan Indeterminisme Dalam Hukum Pidana
Persoalan determinisme dan indeterminisme dapat dikatakan
sebagai akibat dari pertentangan antara aliran klasik dengan aliran modern.
Sebagaimana telah diketahui bahwa ciri aliran klasik
adalah perhatian utama untuk kepentingan atau kebebasan perseorangan
(individu). Akibatnya adalah diterimanya kehendak bebas perseorangan. Setiap
perbuatan manusia selalu ditentukan oleh kehendak bebasnya, sehingg tidak suatu
perbuatan manusia pun yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
Kemudian dengan adanya kehendak bebas manusia itu
disangsikan kebenarannya oleh aliran modern. Sebagaimana telah diketahui bahwa
aliran modern dipengaruhi oleh perkembangan kriminologi. Kriminologi yang
mendasarkan penyelidikan ilmiahnya antara lain atas hasil-hasil psykologi dan
psykiater, membuktikan bahwa tidak setiap perbuatan manusia dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya. Misalnya : orang gila tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, karena ia
sebenarnya tidak dapat menyadari arti dan akibat perbuatan-perbuatannya itu.
Setelah pertentangan antara aliran klasik dengan aliran
modern ini mereda, maka selanjutnya timbul pertentangan baru yang tidak kalah
pentingnya, yaitu pertentangan anatar determinisme dan indeterminisme.
Dualisme ini berkisar pada persoalan, apakah seorang
manusia itu pada hakekatnya bebas dari pengaruh, ataukah justru selain
dipengaruhi oleh beberapa faktor lain ?
Determinisme berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak
dapat menentukan kehendaknya secara bebas, oleh karena telah dahulu dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yang terpenting adalah faktor milieu atau lingkungan dan
pribadi orang yang bersangkutan. Dalam menentukan kehendaknya manusia tunduk
beberapa hal yang sebelumnya telah terjadi karena beberapa faktor yang tidak
dapat dikuasai manusia.
Sebaliknya Indeterminisme berpendapat bahwa manusia dapat
menentukan kehendaknya secara bebas, meskipun ada faktor-faktor milieu atau
lingkungan dan pribadi orang yang bersangkutan yang dapat mempengaruhi
penentuan kehendak manusia itu.
Jika dua ime ini diterapkan dalam hukum pidana, dapat
dikatakan bahwa seseorang yang melakukan kejahatan, menurut faham determinisme
tidak dapat bersalah/bertanggungjawab dan tidak dapat dipidana atas
perbuatannya itu, karena sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan
kehendaknya. Pelanggar-pelanggar hukum hanyalah diambil tindakan agar tunduk
pada tata tertib hukum atau masyarakat. Sedangkan menurut faham indeterminisme
seorang penjahat itu dapat bersalah/bertanggungjawab dan dapat dipidana atas
perbuatannya itu, karena mempunyai kebebasan untuk menetukan kehendaknya.
Pertentangan antara determinisme dan indeterminisme masih
dapat diredaken dengan cara kompromis. Kompromis ini disebut dengan “teori
modern” yang mengambil jalan tengah. Toeri modern berpangkal pada suatu
determinisme, yaitu mengakui dalam beberapa hal manusia dipengaruhi oleh
faktor-faktor milieu atau lingkungan dan pribadinya. Yaitu faktor-faktor milieu
atau lingkungan dan pribadinya, yaitu faktor-faktor yang tidak dapat dikuasai
oleh manusia. Akan tetapi masih menerima pula adanya kesalahan sebagai dasar
untuk dapat dipidana pelaku kejahatan.
Selain dari pada teori modern untuk mencapai suatu
kompromis itu dikenal juga teori lain, yang disebut dengan teori neodeterminisme”.
Teori ini berpangkal pada determinisme, tetapi tidak
berpegangan pada pendapat bahwa manusia tidak bebas untuk menentukan
kehendaknya, melainkan manusia itu sebagai anggota masyarakat, sehingga harus
menginsyafi bahwa perbuatannya dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain, maka
dengan dasar inilah manusia dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.
F. Sifat Hukum Pidana
Menurut isinya, hukum itu dapat dibagi dalam hukum publik
dan hukum privat. Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan publik
(umum), sedangkan hukum privat adalah hukum yang mengatur kepentingan
perseorangan.
Apakah hukum pidana itu masuk golongan atau bersifat
hukum publik ? di bawah ini akan dikemukakan beberapa pendapat para sarjana
hukum Indonesia :
1.
E. UTRECHT berpendapat bahwa hukum pidana memberikan
suatu sanksi istimewa atas, baik pelanggaran kaidah hukum privat maupun atas
pelanggaran kaidah hukum publik yang telah ada. Hukum pidana melindungi, baik
kepentingan yang dilenggarakan oleh peraturan hukum publik. Hukum pidana
melindungi kedua macam kepentingan itu dengan membuat suatu sanksi istimewa.
Sanksi
itu perlu, oleh karena kadang0kadang perlu diadakan tindakan pemerintah yang
lebih keras daripada sanksi-sanksi yang ada di dala hukum privat maupun hukum
publik. Sebagai suatu hukum yang membuat sanksi isstimewa, yang memperkuat baik
bagi hukum privat maupun hukum publik, maka hukum pidana itu bukan hukum privat
maupun hukum publik, melainkan mempunyai suatu kedudukan sendiri.
2.
WIRJONO PRODJODIKORO berpendapat bahwa hukum pidana dapat
dinyatakan merupakan hukum publik hubungan hukum yang teratur dalam hukum
pidana adalah sedemikian rupa bahwa titik berat berada tidak pada kepentingan
seorang individu, melainkan pada kepentingan orang banyak, yang juga dinamakan
kepentingan umum.
3.
SATOCHID KARTANEGARA berpendapat bahwa hukum pidana itu
merupakan hukum publik bahwa hukum pidana itu mengatur hubungan antara individu
dengan masyarakat dan semata-mata dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat
4.
MOELJATNO berpendapat bahwa hukum pidana ini digolongkan dalam
hukum publik. Yaitu mengatur hubungan antara negara dan perseorangan atau
mengatur kepentingan umum
Sesuai dengan pendapat WIRJONO, SATOCHID, dan MOELJATNO
tersebut diatas, penulis pun berpendapat bahwa hukum pidana itu termasuk hukum
publik. Sifat hukum pidana sebagai hukum publik itu jelas nampak dalam
ciri-ciri sebagai berikut :
1)
Sanksi pidana tetap ada, meskipun perbuatan yang
menimbulkan tindak pidana dilakukan orang atas persetujuan si korban misalnya :
--- pasal 332 KUHP – melarikan wanita atas
persetujuannya
--- pasal 344 KUHP – pembunuhan atas
permintaan yang sungguh-sungguh dari si korban.
--- pasal 348 KUHP – pengguguran kandungan
seorang wanita atas persetujuannya.
Perbuatan
dalam pasal-pasal tersebut di atas tetap dapat dipidana, meskipun dilakukannya
atas persetujuan si korban. Dalam hal ini harus diutamakan adalah kepentingan
umum sebab bagaimanapun perbuatan-perbuatan tersebut di atas adalah tercela dan
pembuatnya patut dipidana
2)
Untuk menuntut
tindak pidana tidak tergantung kepada gugatan si korban melainkan merupakan
kewajiban alat negara yang berwenang, yaitu penuntut umum atau jaksa. Akan
tetapi dalam hal ini ada perkecualiannya seperti dalam delik aduan (klacht
delict) yaitu suatu delik yang untuk dapat dituntutnya disyaratkan harus ada
pengaduan dari pihak si korban, misalnya :
·
Pasal 284 KUHP --- perzinahan
·
Pasal 293 KUHP ---- perbuatan cabul
·
Pasal 367 KUHP --- pencurian dalam keluarga dan lain-lain
3)
segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan
dipikul oleh negara, dan segala pendapatan dari pidana denda dan perampasan
barang adalah menjadi milik negara (pasal 42 KUHP)
4)
dalam hukum pidana formel atau hukum acara pidana mencari
kebenaran materil, yaitu kebenaran yang sungguh-sungguh di dalam masyarakat.
G. NORMA DAN SANKSI DALAM HUKUM PIDANA
Peraturan
hukum pidana itu terdiri atas dua bagian pokok, yaitu norma tau kaidah dan
sanksi.
1.
Norma dalam Hukum Pidana
Norma itu berintikan suatu ketentuan mengenai tingkah
laku atau peraturan hidup yang harus ditaati oleh setiap orang dalam pergaulan
mereka di masyarakat. Dan norma itu mempunyai tugas untuk menjamin ketertiban
hukum dalam masyarakat.
Norma itu berbentuk larangan (verbod) atau keharusan
(gebod). Norma yang berbentuk larangan, misalnya : pasal 338 KUHP – dilarang
membunuh; pasal 362 KUHP – dilarang mencuri dan lain-lain. Norma yang berbentuk
keharusan, misalnya :
Pasal 164 dan 165 KUHP – keharusan melaporkan kepada yang
berwajib atau kepada yang terancam, pasal 224 KUHP – keharusan menjadi sanksi
dan lain-lain.
Dalam ilmu hukum pidana terdapat perbedaan pendapat
mengenai norma itu yaitu :
1)
Norma itu terletak di dalam undang-undang. Hal ini
merupakan pendapat umum.
2)
Norma terletak di luar undang-undang.
Penganut pendapat butir 2 ini adalah KARL BINDING seorang
sarjana hukum jerman, yang dalam bukunya : Die Normen und ihre Ubertretung”,
menyatakan bahwa norma itu tidak terdapat di dalam undang-undang, melainkan di
luar undang-undang, yaitu di dalam kesadaran hukum masyarakat yang tidak
tertulis. Norma itu berbentuk moral atau kesusilaan.
Oleh karena itu menurut pendapatnya, misalnya apayang
diatur dalam pasal 338 KUHP – pembunuhan, yang berartiorang dilarang merampas
nyawa orang lain, pasal 362 KUHP --- pencurian, yang berarti bahwa orang yang
membunuh dan mencuri itu adalah melanggar moral atau kesusilaan.
Tentang peraturan-peraturan yang terdapat di dalam KUHP,
BINDING berpendapat, misalnya dalam contoh pencurian, berarti sipencuri itu
bukan melanggar undang-undang, melainkan melanggar norma. Bahkan perbuatan mencuri
itu sesuai dengan apa yang ditentukan dalam undang-undang itu, sehingga
undang-undang itu dapat dijalankan kepada pencuri tersebut. Adapun yang dapat
melanggar undang-undang itu adalah hakim, apabila tidak menajtuhkan pidana
sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang.
Perlu juga dikemukakan pendapat R. TRESNA dan UTRECHT
tentang norma itu. TRESNA berpendapat bahwa hukum pidana tidak berisi
norma-norma baru, ia tidak meletakkan kewajiban yang sebelum itu belum ada.
Norma-norma yang telah ada, yang misalnya berdasarkan agama dikuatkan oleh
hukum pidana dengan diadakan ancaman pidana. Kewajiban-kewajiban yang sudah
dikenal dan tadinya mempunyai ujud yang bersifat paksaan dengan diadakannya
sanksi-sanksi di dalam hukum pidana. UTRECHT berpendapat bahwa hukum pidana
sama sekali tidak bertugas membuat kaidah. Hukum pidana hanya membuat suatu
sanksi lebih keras atas pelanggaran beberapa petunjuk hidup yang telah dibuat
oleh huku privat atau hukum publik, biarpun sering petunjuk-petunjuk hidup itu
juga disebuit dalam ketentuan-ketentuan lain.
Pendapat TRESNA dan UTRECHT tersebut pada prinsipnya
adalah sama, tetapi dalam acara penguraian sajalah yang tidak sama. Apabila
kita bandingkan pendapat TRESNA dengan UTRECHT di satu pihak dengan pendapat
BINDING dilain pihak, maka TRESNA dan UTRECHT berpendapat bahwa undang-undang
pidana itu berisi norma, tetapi tidak berisi atau tidak membuat norma baru.
Norma-norma dalam undang-undang pidana itu berasal atau merupakan perulangan
(herhaling) saja dari ketentuan-ketentuan lain. Sedangkan menurut BINDING
undang-undang pidana itu tidak berisi norma, melainkan norma itu ada diluar
undang-undang, yaitu ada di dalam kesadaran hukum masyarakat yang tidak
tertulis.
2.
Hubungan Norma dengan Sanksi
Sanksi dalam hukum pidana mengandung inti suatu ancaman
pidana (strafbedreiging).
Dalam hubungannya dengan norma, kalau dilihat dari sudut
sifatnya, maka sanksi merupakan akibat hukum (rechtgevolg). Karena dilanggarnya
suatu norma. Akibat hukum itu berupa pidana (straf) atau tindakan (maatregel).
Kalau dilihat dari sudut tugasnya, maka sanksi merupakan suatu jaminan bahwa
norma akan ditaati.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka ilmu hukum pidana
kalau dilihat dari sudut norma, maka disebut dengan ilmu mengenai norma
(normenwetenschap), karena hukum pidan terdiri dari norma-norma, kalau dilihat
dari sudut sanksi, maka disebut dengan hukum saksi (sanctie recht), karena
hukum pidana itu selalu disertai oleh sanksi-sanksi.
3.
Perumusan norma dan sanksi di dalam KUHP dan dalam
peraturan perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP.
Di dalam KUHP
Norma
dan sanksi di dalam KUHP itu dirumuskan bermacam-macam, yaitu :
1)
Pada umumnya norma dan sanksi itu dirumuskan bersama-sama
dalam suatu pasal. Misalnya : pasal 338 KUHP --- normanya sengaja menghilangkan
nyawa orang lain, sanksinya pidana penjara paling lama lima belas tahun.
2)
Ada suatu ketentuan pidana yang hanya da normanya, tetapi
sanksinya tidak tercantum. Untuk mengetahui sanksinya itu harus melihat kepada
delik pokoknya.
Misalnya
: pasal 367 KUHP – pencurian dalam keluarga. Dalam pasal ini tidak dicantumkan
sanksinya, untuk mengetahui sanksinya itu harus melihat kepada pasal 362 KUHP
--- pencurian biasa, yaitu pidana penjara paling lama lima tahun atau denda
paling banyak sembilan ratus rupiah.
3)
Adapula dalam suatu ketentuan pidana yang sanksinya telah
ada, tetapi normanya belum ada. Norma itu akan ditentukan kemudian oleh
pemerintah. Ketentuan pidana ini disebut dengan “ketentuan pidana blanko”
(blanco strafbepaling). Misalnya : pasal 122 butir 2 KUHP --- sanksinya telah
ada yaitu pidana penjara paling lama tujuh tahun, tetapi normanya belum ada,
dan akan dikeluarkan dan diumumkan oleh pemerintah dalam masa perang guna
keselamatan negara.
Di dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana di
luar KUHP.
Pada umumya norma dan sanksi di dalam peraturan
perundang-undangan hukum pidana di luar KUHP tidak dirumuskan bersama-sama
dalam suatu pasal, melainkan terpisah, normanya ditentukan lebih dahulu dalam
suatu pasal, kemudian sanksinya ditentukan dalam pasal lain.
Misalnya : dalam Undang-undang No. 3/1971 --- normanya
ditentukan dalam pasal 1, tetapi sanksinya dalam pasal 28, dalam UU
No.7Drt/1955 --- normanya ditentukan dalam pasal 1, sedangkan sanksinya dalam
pasal 6, dalam UU No. 9/1976 --- normanya ditentuakn dalam pasal 23, sedangkan
sanksinya dalam pasal 36.
Selain daripada itu adapula beberapa norma yang diancam
dengan dua sanksi, baik yang terletak dalam hukum pidana maupun dalam hukum
perdata. Misalnya :mengenai perzinahan sanksi pidananya dalah penjara paling
lama sembilanbulan --- pasal 284 KUHP, sanksi perdatanya adalah perceraian atau
pisah meja dan tempat tidur --- pasal 209 dan pasal 233 KUHPerdata, actio
pauliana, yaitu gugatan untuk membatalkan atau menyatakan batal segala
perbuatan debitur yang secara curang dilakukan untuk merugikan para kreditur,
sanksi pidananya adalah pidana penjara paling lama tujuh tahun --- pasal 397
KUHP, sanksi perdatanya adalah batalnya segala perbuatan debitur --- pasal 1314
KUHPerdata.
Telah dikatakan di atas bahwa akibat hukum (rechtsgevolg)
dapat berupa pidana (straf) atau tindakan (maatregel). Apakah perbedaanya
antara pidana dengan tindakan itu ?
Pada umumnya para penulis hukum pidana melukiskan
perbedaan antara pidana dengan tindakan itu sebagai berikut :
a.
Kalau ditinjau dari sudut tujuannya : tujuan pidana
adalah memberikan penderitaan khusus (bijzonder leed) kepada si pelanggar hukum
agar merasakan akibat perbuatannya. Tujuan tindakan lebih bersifat sosial.
b.
Kalau ditinjau dari sudut teori-teori hukum pidana merupakan
sanksi yang bersifat pembalasan. Tindakan merupakan sanksi yang tidak bersifat
pembalasan, melainkan semata-mat ditujukan kepada prevensi khusus, maksudnya
ialah untuk melindungi masyarakta dari orang-orang tertentu, yaitu orang-orang
yang berbhaya yang mungkin akan melakukan tindak pidana yang merugikan
masyarakat.
Contoh
tindakan, seperti :
·
Seorang sakit jiwa (gila) yang melakukan tindak pidana tidak
dipidana, melainkan sambil tindakan yang berupa dimasukkan ke dalam rumah sakit
jiwa --- pasal 44 KUHP.
·
Anak yang berumur enam belas tahun yang melakukan tindak
pidana tidak dipidana, melainkan diambil tindakan yang berupa dikembalikan
kepada orang tuanya, atau walinya atau pemeliharaannya, ataupun diserahkan
kepada pemerintah untuk dididik dalam lembaga pendidikan negara pasal 45 KUHP
Selain itu dalam KUHP dikenal pula apa yang disebut
dengan pidana bersyarat (voorwaardelijk veroordeling) dan pengelepasan
bersyarat (voorwaardelijk ninvrijheidstelling).
Pidana bersyarat --- (pasal 14a – 14f KUHP), dapat diputuskan
oleh hakim dalam hal hakim menjatuhkan :
·
Pidana penjara paling lama satu tahun
·
Pidana kurungan tidak termasuk pidana kurungan pengganti
·
Pidana denda.
Bahwa
pidana tersebut tidak usah dijalani, tetapi dengan syarat-syarat tertentu yang
berupa :
1)
Syarat umum (yang merupakan syarat mutlak atau yang harus
selalu ada), yaitu terpidana dalam masa percobaan tidak akan melakukan tindak
pidana lagi.
Apabila
syarat ini dilanggar maka terpidana harus menjalani pidananya itu.
2)
Syarat khusus (yang merupakan syarat yang boleh ada atau
tidak ada), yaitu terpidana harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang
ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukannya, dan harus dipenuhi dalam
jangka waktu yang ditentukan oleh hakim.
Penglepasan bersyarat (pasal 15-17 KUHP) dapat diberikan
kepada narapidana :
· Yang menjalani
pidana penjara selama waktu tertentu
· Telah menjalani
pidananya sekurang-kurangnya dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya sembilan bulan
· Berkelakuan baik
terus-menerus dalam menjalani pidananya.
Pelepasan bersyarat ini diusulkan oleh kepala atau
direktur Lembaga Pemasyarakatan yang bersangkutan kepada menteri kehakiman
dengan melaui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Dan menteri kehakimanlah yang
memutuskannya.
Narapidana yang diberi penglepasan bersyarat dilepaskan
untuk tidak menjalani pidananya yang satu pertiganya lagi lagi dari masa pidana
itu, dengan syarat-syarat tertentu, yaitu :
a.
Syarat umum (yang merupakan syarat mutlak) bahwa dalam
masa percobaan narapidana tidak akan melakukan tindak pidana lagi dan perbuatan
yang lain yang tidak baik, seperti : hidup tidak teratur atau hidup
bermalas-malasan dan bergaul dengan orang-orang yang tidak baik namanya.
b.
Syarat khusus (merupakan syarat yang boleh ada atau tidak
ada), yaitu mengenai kelakuan narapidana. Maksudnya adalah untuk menjaga agar
narapidana tidak tersesat lagi, dan untuk mempengaruhi ke arah yang baik.
Adalah dalam masa percobaan narapidana melanggar
syarat-syarat yang harus dipenuhinya, maka penglepasan bersyarat dapat dicabut,
dan dia harus menjalani sisa pidananya itu.
I. ILMU HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI
a. ILMU HUKUM
PIDANA
Ilmu hukum pidana merupakan ilmun atau pengetahuan yang
secara khusus mempelajari salah satu bagian tertentu dari ilmu hukum pada
umumnya, yaitu hukum pidana.
Objek
ilmu hukum pidana adalah peraturan-peraturan hukum pidana positif, yaitu hukum
pidana yaitu hukum pidana yang berlaku pada suatu waktu tertentu di suatu
negara tertentu. Jadi objek ilmu hukum pidana di Indonesia adalah
peraturan-peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Tugas
utama ilmu hukum pidana adalah : mempelajari dan menjelaskan asas-asas yang
mejadi dasar dari peraturan-peraturan hukum pidana positif, mempelajari dan
menjelaskan hubungan antara asas yang satu dengan yang lainnya, setelah
dipahami hubungan itu maka ditempatkan dalam suatu sistematika, agar dapat
dipahami apa yang dimaksud apa yang dimaksud dengan hukum pidana positif itu.
Dalam
tugas yang disebut paling akhir ini juga merupakan cara ilmu hukum pidana
melaksanakan tugasnya.
Hukum
pidana positif itu disusun dalam kata-kata atau kalimat. Dari sifat dogmatis
ini, maka timbullah perbedaan pendapat diantara para sarjana hukum pidana.
Perbedaan pendapat ini menimbulkan dua aliran dalam ilmu hukum pidana yang
lazimnya disebut dengan aliran ilmu hukum pidana yang sempit dan aliran ilmu
hukum pidana yang luas. Menurut aliran ilmu hukum pidana yang sempit, yang
antara lain dikemukakan oleh ZEVENBERGEN bahwa ilmu hukum pidana itu harus
bersifat dogmatis, oleh karena ilmu hukum pidana itu adalah mengenai
norma-norma (normenwetenschap), jadi ilmu yang berdasarkan norma-norma yang
terdapat dalam hukum pidana positif. Hal ini berarti hanya membentangkan
sistematis norma-norma, maka sasaran ilmu hukum pidana itu adalah tingkah laku
normatif dan tidak usah mennyangkut dari sebab-sebab tingkah laku yang
melanggar norma.
Menurut
ilmu hukum pidana yang luas, yang antara lain dikemukakan oleh VAN HAMEL dan
SIMONS bahwa ilmu hukum pidana tidak besifat dogamtis saja, tetapi harus
diperluas dengan mempelajari dan menentukan cara-cara untuk membarantas
kejahatan, yang keseluruhanya itu merupakan tugas kriminologi.
b. Kriminologi
Apakah
kriminologi itu secara etimologis perkataan kriminologi itu berasal dari dua buah
suku kata yaitu :
·
Crimen (kejahatan)
·
Logos (ilmu).
Jadi
kriminologi adalah, ilmu tentang kejahatan. Atau secara luasnya kriminologi itu
adalah ilmu yang mempelajari sebab-sebab timbulnya kejahatan (etiologi
kriminal), serta mempelajari cara-caranya untuk memberantas kejahatan itu
(politik kriminal --- criminele politiek).
1.
Etiologi Kriminal (criminele aetiologie)
Perkataan
aetiologi berasal dari perkataan aethos yang berarti sebab-sebab. Etiologi
Kriminal itu terdiri atas tiga mashab/aliran yaitu :
- Mashab Italia
- Mashab perancis
- Mashab bio-sosiologis.
a)
Mashab Italia
Mashab italia (Italiaanse school) disebut pula dengan
aliran biologis (biologische richting) atau aliran positif (positievesche
richting) atau aliran antropologis (anthropologische richting).
Yang meciptakan aliran ini adalah CESARE LOMBROSO
(1835-1909) seorang guru besar pada sebuah Univeristas di turyn Italia dalam
ilmu kedokteran kehakiman dan psykiatri, dan menjadi dokter jiwa disebuah
penjara italia. LOMBROSO mengemukakan pendapatnya dalam bukunya “L’ Uomo
delinquente”(Manusia penjahat).
Setelah LOMBROSO menyelidiki dan mengukur
bentuk badan dan tengkorak dari lebih kurang tiga ratus limapuluh orang hukuman
di rumah-rumah penjara, maka berdasarkan hasil penyelidikannya itu ia
berkesimpulan bahwa seseorang penjahat dapat dikenal dari ciri-ciri atau
tanda-tanda yang melekat pada dirinya. LAMBROSO terkenal dengan teorinya
tentang “manusia penajahat karena kelahiran” (leer van geborn misda diger).
Menurut ajaran ini manusia jahat itu merupakan pembawaan
atau bakat atau watak dari kelahiran. Jadi mereka dilahirkan untuk menjadi
penjahat, bakat jahat itu dapat diketahui dari ciri-ciri atau tanda-tanda
biologis yang melekat pada tubuh (anatomi) dan jiwa (psykologi) mereka.
Ciri-ciri atau tanda-tanda pada anatomi, seperti kening kepala yang menonjol
kedepan dan dahi yang agak miring, mata kecil yang letaknya sangat dalam yang
berada dalam rongga mata besar, tulang pipi yang menomjol, lubang hidung yang
terlalu besar, pertumbuhan rambut yang tabal dan keriting, dan lain-lain.
Ciri-ciri atau tanda-tanda pada jiwa, seperti tidak mempunyai perasaan menyesal
dan rasa belas kasihan, tahan menderita, gila hias, malas kejam dan lain-lain.
Menurut LAMBROSO manusia yang mempunyai ciri-ciri atau
tanda-tanda biologis semacam ini dihinggapi bakal jahat, cepat atau lambat
tentu akan menjadi penjahat.
Dalam
percakapan sehari-hari, orang yang mempunyai ciri-ciri atau tanda-tanda
sebagaimana dikemukakan oleh LAMBROSO tersebut diatas dengan “type
lombroso”.Ajaran LOMBROSO mempunyai banyak penganut, tetapi banyak juga yang
menentangnya karena disangsikan kebenarannya.
b)
MASHAB PERANCIS
Mashab perancis (french school) disebut pula dengan
aliran sosiologis atau aliaran milieu (lingkungan) atau aliran Lyon richting.
Aliran ini
dilahirkan oleh LACASSAGNE (1843-1924), seorang guru besar dalam ilmu
kedokteran kehakiman di perguruan Kriminal Internasonal ke 1 di Roma (1885).
Aliran ini
menentang keras aliran antropologis, karena menurut pendapatnyabahwa yang
menjadi sebab kejahatan itu bukan terletak pada orangnya, melainkan pada milieu
atau lingkungan yang buruk di sekitar orang itu hidup, misalnya : perumahan
yang sangat jelek, di tempat itu orang tinggal berjejal-jejal, kemiskinan dan
lain-lain.
Penganut-penganut
aliran ini antara lain MANOUVRIER (1850-1927), BONGER. TARDE menngemukakan
bahwa kejahatan itu bukan suatu gejala yang antropologis, melainkan gejala sosiologis,
yang seperti kejadian-kejadian sosial lainnya ditentukan oleh hukum meniru.
BONGER menganut aliran milieu, tetapi tidak berdasarkan ajaran mashab Perancis,
melainkan ia menganut airan milieu itu sebagai seorang penganut ajaran MARK,
yang pada umumnya dari kalangan sosialis mementingkan keadaan ekonomi sebagai
sebab timbul kejahatan.
c)
MASHAB BIO-SOSIOLOGIS
Yang meciptakan mashab ini adalah ENRICO FERRI
(1856-1929), seorang guru besar hum pidana dan ahli politik. ENRICO FERRI
menentang aliran milieu dan berhasil membuat suatu kompromis antara aliran
antropologis dengan aliran milieu.
Menurut aliran ini melakukan kejahatan itu dianggap
dipengaruhi, baik oleh pembawaan atau baka yang terdapat pada diri penjahat
maupun oleh milieu atau lingkungan, tempat penjahat hidup dan melakukan
perbuatannya.
FERRI seorang
sarjana hukum Itali membuat perumusan bahwa setiap kejahatan merupakan hasil
pengaruh bersama faktor-faktor individual, sosial, dan fisik. Yang dimaksud
dengan faktor individual adalah bakat penjahat sebagaimana yang dilukiskan oleh
LAMBROSO.
2.
Politik Kriminal (criminele politiek)
Tugas
politik kriminal adalah untuk menemukan cara-cara memberantas kejahatan. Ada
dua macam cara pemberantasan kejahatan itu, yaitu dengan cara kemasyarakatan
dan cara perorangan.
Pemberantasan
kejahatan dengan cara Pemasyarakatan adalah dengan cara memperbaiki masyarakat
seperti : mengadakan atau dengan cara memperbaiki jaminan sosial, meniadakan
pengangguran dengan meciptakan kesempatan pekerjaan-pekerjaan baru, mengadakan
perumahan rakyat yang layak, mengolahragakan masyarakat dan memasyaratkan
olah-raga, mengaktifkan kebudayaan, mengusahakan pendidikan dan pengajaran yang
bermutu, mengadakan siskamling, memberantas perbuatan narkotika, memberantas
mabuk-mabukan, dan lain-lain.
Pemberantasan
kejahatan dengan cara perseorangan adalah dengan secara langsung memperbaiki
perseorangan. Seperti : pemidanaan atau penindakan yang bertujuan untuk
mendidik dan memperbaiki, masyarakat supaya aktif berperan untuk memperbaiki
orang-orang yang a sosial, membina tunas-tunas muda atau para remaja, dam
lain-lain.
Adapun
alat-alat pembantu untuk mengadakan penyelidikan penelitian atau pencarian
sebab-sebab kejahatan dengan cara-cara pemberantasan kejahatan, seperti :
mengadakan eksperimen-eksperimen, angket, observasi, wawancara, membuat
statistik, penelitian suatu peristiwa luar biasa, dan sebagainya. Salah satu
alat pemabntu yang cukup penting adalah apa yang diseut dengan : statistik
kriminal, yaitu perhitungan secara sistematis dalam periode-periode tertentu
tentang kejahatan-kejahatan yang telah terjadi, dengan pencatatan-pencatatan
keadaan khusus dari suatu peristiwa dan pelakunya.
C. Hubungan kriminal dengan hukum
pidana
Dengan
mempelajari sebab-sebab kejahatan dengan car-cara memberantas kejahatan, maka
kriminologi dapat menyumbangkan bahan-bahan kepada hukum pidana, bahan-bahan
itu diperlukan guna menyesuaikan hukum pidana dengan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat dalam memberantas kejahatan. Bahan-bahan tersebut diberikan kepada
pembentuk undang-undang, untuk disusunnya kedalam undang-undang. Walaupun
kriminologi itu telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri, tetapi perlu diketahui
perihall hubungannya dengan hukum pidana.
Apakah
kriminologi itu masuk dalam ilmu hukum pidana ? telah diutarakan di atas bahwa
dari sifat dogmatis hukum pidana positif itu menimbulkan aliran ilmu hukum
pidana yang sempit dan luas. Aliran ilmu hukum pidana yang sempit danuti oleh
ZEVENBERGEN mempertahankan ilmu hukum pidana yang dogmatis saja, jadi tidak
menghendaki tidak dimasukkannya kriminologi dalam ilmu hukum pidana. Sedagkann
menurut aliran ilmu hukum pidana yang luas yang dianut oleh SIMONS dan VAN
HAMEL bahwa ilmu hukum pidana itu tidak hanya bersifat dogmatis, tetapi juga
kriminologis, jadi menghendaki dimasukkannya kriminologi dalam ilmu hukum
pidana.
ZEVENBERGEN
di dalam bukunya “Leerboek van het Nederlandse Strafrecht, menyangkal
dimasukkannya kriminologi dalam ilmu hukum pidana, sebab ilmu hukum pidana itu
adalah suatu pengetahuan perihal norma-norma hukum. Jadi merupakan suatu
pertanggungjawaban bagi yang melanggarnya terhadap hukum pidana, ia adalah ilmu
“hukum”, jadi normatif dan tidak menggambarkan, hubungan kasual. Demikian juga
tujuannya adalah berbeda, kriminologi ingin mencari sebab-sebab kejahatan dan
mecari alat-alat untuk memberantasnya, ilmu hukum pidana adalah untuk membangun
sistematiknya.
SIMONS
di dalam bukunya “Leerboek van het Nederlandse Strafrecht”, berpendapat bahwa
dalam pembahasan imu mengenai pidana (straffen) terutama dalam menunjuk
mengenai peraturannya, yang berlaku dalam menentukan suatu pidana, tidaklah
hanya dapat membatasi diri pada penjelasan dan sistematik peraturan-peraturan
yang ada, tetapi haruslah pula diselidiki perihal sebab-sebab kejahatan,
terutama pribadi penjahat.
Perlu
juga dikemukakan pendapat-pendapat para sarjana hukum Indonesia, yaitu UTRECHT
dan MOELJATNO mengenai hubungan kriminologi dengan hukumpidana itu. UTRECHT
berpendapat bahwa kriminologi itu adalah suatu ilmu yang berdiri sendiri di
samping ilmu hukum pidana positif. Akan tetapi bagi ilmu hukum pidana positif
dan peradilan pidana, maka kriminologi itu merupakan suatu ilmu yang membantu
(hulpwetewnschap). Hasil-hasil penyelidikan dan pembahasan kriminologi adalah
sangat penting bagi menjalankan hukum pidana positif dan bagi peradilan pidana
modern yang sesuai-sesuainya dengan kepentingan masyarakat dan individu. Di
samping itu juga sangat penting dalam usaha menciptakan jus constituendum
pidana.
Jadi
kesimpulannya UTRECHT tidak memasukkan kriminologi itu dalam hukum pidana,
melainkan merupakan ilmu yang berdiri sendiri di samping ilmu hukum pidana
positif, meskipun pada hakekatnya antara kriminologi degan ilmu hukum pidana
itu ada hubungan yang erat.
MOELJATNO
berpendapat bahwa objek dan tujuan antara ilmu hukum pidana dengan kriminologi
itu berlainan. Kalau objek ilmu hukum pidana itu adalah aturan-aturan hukum
mengenai kejahatan yang bertalian dengan pidana, dan tujuannya agar dapat
dimengerti dan mempergunakan dengan sebaik-baiknyaserta seadil-adilnya.
Sedangkan objek kriminologi adalah orang yang melakukan kejahatan (si Penjahat)
itu sendiri, dan tujuannya agar menjadi mengerti apa sebab-sebabnya sampai
berbuat jahat itu. Apakah memang karena bakatnya jahat, ataukah didorong oleh
kedaan masyarakat di sekitarnya (milieu), baik kedaan sosiologis maupun
ekonomis, ataukah ada sebab-sebab lainlagi. Jika sebab-sebab itu sudah
diketahui, maka disamping pemidanaan, dapat diadakan tindakan-tindakan yang
tepat agar orang tadi tidak lagi berbuat demikian, atau agar orang-orang lain
tidak melakukannya.
Jadi
kesimpulannya MOELJATNO tidak memasukkan kriminologi itu dalam ilmu hukum
pidana, tetapi pada hakekatnya antara kedua ilmu itu ada hubungannya satu
dengan yang lainnya.
Menurut
Sofjan Sastrawidjaja, kriminologi itu tidak masuk dalam ilmu hukum pidana, oleh
karena peninjauan kriminologi itu tidak “yuridis normatif”. Kriminologi itu
merupakan ilmu yang membantu ilmu hukum pidana. Memang ada persamaan antara
kriminologi dengan ilmu hukum pidana itu, yaitu kedua ilmu tersebut menyelidiki
kejadian-kejadian yang konkrit itu berbeda. Krimonologi caranya ialah dengan
melihat sebab-sebab kejahatan yang konkrit itu “empiris induktif” artinya
dikaji apakah suatu perbuatan dalam kenyataannya merupakan suatau perbuatan
atau kejahatan atau bukan tanpa terikat oleh ketentuan-ketentuan hukum pidana
positif. Sedangkan ilmu hukum pidana adalah “deduktif normatif”, artinya
ketentuan-ketentuan hukum pidana itu telah ada maka berdasarkan
ketentuan-ketentuan hukum pidana ini dinilai apakah suatu perbuatan itu
merupakan suatu kejahatan (tindak pidana) atau bukan.
PokerOfAsian.com | Situs Poker Online Resmi | Bandar Ceme | BandarQ | DominoQQ
BalasHapusBandar Poker
Bandar Poker Online
Bandar Poker Online Terpercaya
Bandar Poker Online Paling Terpercaya Dan Resmi
Situs Poker Online Resmi Dan Terpercaya
Situs Poker Online Resmi
Situs Poker Online
Situs Poker
Poker Online
Bandar Ceme
Bandar Ceme Online
Bandar DominoQQ
Bandar DominoQQ Online
Bandar Capsa Susun
Bandar Capsa Susun Online
RAJAPOKER88 SITUS AGEN JUDI POKER BANDAR DOMINO QQ ONLINE TERPERCAYA
Turnamen Poker Online 2017