Minggu, 01 April 2012

Perkembangan Hukum Islam di Indonesia


Perkembangan/pertumbuhan hukum Islam di Indonesia dimulai sejak masuknya agama Islam sampai menjadi salah satu sistem hukum yang banyak penganutnya, dan terbagi atas tiga periode yaitu :
ü Masa kedatangan Islam di Indonesia;
ü Masa pemerintahan Hindia Belanda;
ü Masa setelah kemerdekaan.
Masa kedatangan Islam di Indonesia.
            Ada beberapa pendapat mengenai kapan dan bagaimana masuknya agama Islam di Indonesia.
            Pendapat pertama, yang dipelopori oleh golongan Orientalis, berpendapat bahwa agama Islam masuk di Indonesia pada permulaan abad ke XIII Masehi yang dibawa oleh orang-orang Persia ke Gujarat India, kemudian pedagang-pedagang Gujarat India ini membawanya ke tanah air Indonesia. Salah seorang diantara mereka adalah Sir Thomas Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, mengemukakan bawha Islam datang ke Indonesia bukan langsung dari tanah Arab, tetapi dari Persia melalui Gujarat India ke Indonesia. Sebagai bukti dikemukakan bahwa bentuk, bahan dan tulisan yang terdapat pada makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik mirip dengan bentuk, bahan dan tulisan pada makam raja-raja Hindustan. Lagi menurut beliau Islam yang dianut di Indonesia lebih mirip dengan Islam di Gujarat India.
            Pendapat kedua, dipelopori oleh cendikiawan Islam Indonesia, antara lain Buya Hamka     (t.t. IV : 22), berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dibawa langsung dari negeri Arab sendiri pada abad ke VII Masehi. Untuk memperkuat pendapatnya itu dikemukakannya dua fakta sejarah yaitu :
·        Disekitar tahun 675 M telah datang utusan dari tanah Arab ke Pulau Jawa dan melawat ke negeri Kalingga dan pulang kembali setelah memperhatikan betapa besarnya pengaruh agama Hindu di negeri itu, sehingga agama Islam tidak boleh dijalankan dengan kekerasan, melainkan sesuai dengan agama Islam itu sendiri yang menghendaki tidak ada paksaan dalam agama;
·        Bahwa dalam tahun 684 M telah ada loji (kantor perwakilan dagang) orang Arab di Sumatera Barat (daerah Minangkabau).
Kedua pendapat tersebut di atas masing-masing mengemukakan alasan-alasannya yang kuat sehingga diantara keduanya memiliki nilai kebenaran.
Sejarah telah membuktikan bahwa mulanya proses pengislaman di Indonesia berlangsung tanpa disadari, tiba-tiba mengalami perkembangan yang pesat dan cepat walaupun harus diakui bahwa pada waktu itu memang sudah ada isme-isme yang menguasai alam pikiran bangsa Indonesia, misalnya isme tradisional dan agama Hindu. Perkembangan yang sangat pesat dan dinamis ini ditunjang oleh beberapa faktor yang menentukan yaitu :
a.     Adanya sifat demokratis agama Islam itu sendiri, dimana tidak mengenal perbedaan antara rakyat biasa dan kaum bangsawan, tegasnya tidak mengenal kelas-kelas dan kasta-kasta dalam masyarakat.
b.     Prosedur untuk menjadi pemeluk agama Islam tidak berbelit-belit atau tidak begitu sulit.
c.      Agama Islam gampang menyesuaikan diri/berasimilasi dengan keadaan-keadaan setempat .
d.     Pribadi dan ahklak orang-orang Islam sangat tinggi, sehingga dengan gampang saja mengadakan hubungan antara satu dengan lainnya, yang menyebabkan terjadinya satu ikatan yang timbal balik yang sangat menguntungkan terutama sekali di lapangan perdagangan.
Dalam bidang perdagangan, Islam berkembang melalui beberapa macam cara antara lain dengan mengadakan kontak secara pribadi dengan raja-raja yang berkuasa termasuk keluarga raja-raja disertai dengan pemberian hadiah istimewa sehingga para raja itu tertarik kepada agama Islam. Masuknya para raja itu sebagai pemeluk agama Islam merupakan eksponen utama di dalam menarik rakyatnya menjadi pemeluk agama Islam. Selanjutnya rakyat biasa yang telah menganut agama Islam mengadakan pula hubungan dengan daerah-daerah lainnya yang biasanya sekaligus bertindak sebagai juru dakwa sehingga agama Islam menyebar sampai kepelosok pedesaan.
            Penyebaran agama Islam pada mulanya hanya melalui dua tempat, yaitu Sumatera Utara(Aceh) dan pesisir pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur(Rembang,Tuban dan Gresik) dari Sumatera Utara, Islam menyebar ke pedalaman Minangkabau(Sumatera Barat) sedang di Sumatera Selatan agama Islam berkembang melalui Banten.
            Di pulau Jawa, agama Islam berkembang dan menyebar melalui kelompok orang-orang penyebar agama Islam yaitu para wali, diantaranya yang terkenal dengan sebutan Walisongo (Wali sembilan). Dengan perantaraan mereka inilah Islam berkembang di Demak, Pajang, Mataram, dan Banten akhirnya sampai merata di seluruh pulau Jawa.
            Dari pulau Sumatera dan Jawa, agama Islam berkembang keseluruh pelosok tanah air pada abad-abad berikutnya. Di Sulawesi Selatan sendiri agama Islam mulai berkembang pada abad ke    XVI M yang dibawa oleh pedagang-pedagang dan penyebar-penyebar Islam yang diperkirakan berasal dari Pahang, Campa, Minangkabau dan Johor(J.Noorduyn, 1972 : 11).
            Dengan masuknya agama Islam di tanah air, maka hukum-hukumnya pun turut serta di dalamnya. Jadi masuk dan berkembangnya Hukum Islam di Indonesia adalah bersamaan dengan masuknya dan berkembangnya agama Islam itu sendiri(Wahidin, 1984 : 15).
            Hukum Islam terdiri dari tiga aspek yang satu dengan lainnya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Pembedaan antara aspek yang satu dengan aspek yang lainnya diadakan hanya untuk memudahkan pendekatan masalahnya. Ketiga aspek agama Islam yang dimaksud adalah : pertama, aspek Aqidah atau kepercayaan; kedua, aspek syariatnya (aspek hukum) dan ketiga, aspek Tasawuf atau filsafat.
            Di antara ketiga aspek itu, yang paling penting adalah aspek syariatnya/aspek hukumnya, oleh karena aspek hukum tersebut merupakan jiwa agama Islam, salah satu manifestasi dari cara hidup Islam, inti dari agama Islam itu sendiri. Kata Schacht(Harjono, 1986 : 47), Islamic Law is the ephitome of Islamic Spirit, the most typical manifestation of Islamic way of life, the Kernel if Islamic it self.

Zaman Pemerintahan Hindia Belanda

Pada waktu pemerintahan Hindia Belanda mulai berkuasa di tanah air, hukum Islam telah berkembang sedemikian pesatnya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, disitu pengaruh Islam (termasuk hukumnya) sangat menonjol, bahkan menurut sejarah jauh sebelum Belanda menginjakkan kakinya di Indonesia, hukum Islam pernah dinyatakan berlaku sebagai hukum positif dibeberapa kerajaan Islam di Indonesia.
       Di samping hukum Islam, hukum Adat sebagai suatu sistem hukum juga berlaku di tengah-tengah masyarakat sebgai hukum yang tumbuh dan berkembang berdasarkan alam pikiran bangsa Indonesia. Antara kedua sistem hukum itu dalam perkembangannya saling memengaruhi, seolah – olah di antara keduanya terjadi sinkronisasi. Mungkin berdasarkan kenyataan inilah, sehingga timbul anggapan dari pemerintah Hindia Belanda yang memandang hukum asli dari bangsa Indonesia adalah terdiri dari hukum agama.
       Anggapan seperti ini memengaruhi pula pemerintah Inggris yang pernah juga berkuasa lebih kurang 5 tahn (1811 – 1816) di bawah pimpinan Thomas Stafford Raffles, yang berpendapat bahwa hukum adat yang berlaku bagi bangsa Indonesia berasal dari hukum agama, sehingga dalam proses peradilan, jaksa dan penghulu keduanya bertugas memberi advis menurut hukum adat yang disangkanya identik dengan hukum agama.
       Setelah Belanda kembali menjajah Indonesia (setelah penjajahan Inggris), maka berdasarkan anggapan tersebut lahirlah teori Receptio in Complexu oleh Mr. L. W. C van Den Berg, penasehat hukum Islam pemerintah Hindia Belanda yang pada dasarnya berbunyi(Soekanto, 1981 : 66), Resepsi hukum Hindia oleh kaum Hindu, hukum Nasrani oleh kaum Nasrani dan hukum Islam oleh kaum Islam. Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi mengikuti hukum agamanya oleh karena adalah konsekuensi baginya, bahwa memeluk suatu agama harus pula menaati hukum-hukumnya dengan setia.
       Sebagai reaksi dari teori ini keluar pula dari teori Receptie, dari C. Snouck Hurgronje yang beranggapan, bahwa berlakunya hukum Islam sekedar setelah diresepsi oleh hukum adat. Jelas sekali bahwa teori receptie ini bertujuan membatasi berlakunya hukum Islam serta menghalangi perkembangannya di Indonesia.
       Dengan berdasarkan teori ini pemerintah Hindia Belanda berhasil memperkecil peranan hukum Islam dalam hukum positif, sehingga hanya terbatas pada hukum perkawinan, (khususnya syarat-syarat syahnya perkawinan) dan perceraian serta mengenai badan hukum yang berbentuk wakaf; disana sisni mungkin juga tentang Hibah, Wasiat dan Shadaqah.
       Sebagai konsekuensi diakuinya hukum Islam dalam peraturan perundangan Hindia Belanda sebagaimana tercantum dalam beberapa pasal RR dan IS, maka di lapangan peradilan disamping peradilan gubernemen, peradilan adat dan peradilan swapraja, dikenal pula peradilan Islam yang berwenang menyelesaikan perkara-perkara menurut hukum Islam secara sangat terbatas.

Masa Setelah Kemerdekaan

       Setelah proklamasi kemerdekaan, perkembangan hukum Islam lebih maju lagi dibanding dengan keadaan tahun-tahun sebelum kemerdekaan.
       Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, ditegaskan bahwa Negara Republik Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya itu.   
       Sebagai salah satu wujud dari kemerdekaan beragama sebagaimana tercantum pada Pasal 29 ayat (2) tersebut, maka pada tanggal 3 Januari 1946, dibentuklah Departemen Agama yang bertugas mengurus berbagai bidang yang menyangkut masalah-masalah keagamaan (termasuk hukum agama) di Indonesia.
       Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa bidang hukum Islam telah dinyatakan diterima dalam hukum Nasional sebagai hukum positif, seperti antara lain, Hukum Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan, Hukum Perwakafan melalui Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perwakafan Tanah Milik dan lain-lain.
       Pembentukan berbagai pesantren, madrasah-madrasah Islamiyah dan organisasi-organisasi yang bernafaskan Islam di seluruh wilayah tanah air turut memberi warna terhadap perkembangan Islam di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar